WowKeren.com - Setiap tahun, stasiun televisi SBS menggelar acara musik akhir tahun bertajuk "Gayo Daejun". Selama bertahun-tahun SBS telah menghadirkan aksi panggung spektakuler dari para artis pengisi acaranya.
Tahun ini, SBS akan kembali menyelenggarakan acara tesebut. Sejak 12 Desember lalu, "SBS Gayo Daejun 2015" telah merilis beberapa nama artis yang akan ikut memeriahkan.
Sejak dikonfirmasi hingga kini, terdapat 27 artis yang akan memeriahkan acara tersebut. Mereka adalah grup populer dari berbagai agensi seperti Girls' Generation, EXO Wonder Girls, SHINee, 2PM, 4Minute, T-ara, CN Blue, Infinite, A Pink dan Ailee.
Tak mau kalah, B1A4, B.A.P, EXID, BTOB, VIXX, AOA juga akan ikut serta. Para rookie seperti GOT7,Mamamoo, Red Velvet, Lovelyz, G-Friend, Monsta X, Seventeen (II), UP10TION, iKON, dan Twice juga akan meramaikan "SBS Gayo Daejun 2015".
Selain itu, dua artis yang akan menjadi MC dalam festival musik dan penghargaan ini juga telah diumumkan. Mereka adalah IU dan Shin Dong Yup.
Sementara itu, "SBS Gayo Daejun 2015" rencananya akan dilaksanakan 27 Desember mendatang. Para penggemar yang ingin menonton pun dapat membeli tiket di homepage event sampai 22 Desember.
source : wowkeren.com
MY WORLD MY STORY
blog ini adalah ceritaku. by. suci ramadhani
Minggu, 20 Desember 2015
Minggu, 07 Desember 2014
THE STORY OF MY LIFE [Chater 7]
THE
STORY OF MY LIFE
Author
: Alice Abbys
Cast
:
1. Han jina
2.
Kim
woobin
3.
Park
sunhee
4.
Lee
jongsuk
5.
Shin
won ho
6.
Kim
jongin
7.
Kim
taemin
8. Choi hyunji
Genre
: romance, family
Rating
: PG-15
Length
: chaptered
CHAPTER 7
SHINSEGAE
PARKING LOT
Jina`s POV
“kau ini kenapa sih? Tiba-tiba
menarikku seperti ini. Kenapa kau marah?” tanyaku. Aku bingung dengan sikapnya.
Tiba-tiba dia seperti marah entah pada apa dan menarikku seenaknya.
“kau masih menyukainya?” tanyanya
sembari memasukkan barang belanjaanku kedalam bagasi mobil.
“eh? Apa? siapa? Kau bicara apa?
aku tidak mengerti.” Ucapku
“pria itu. mantan kekasihmu dan
pacar barunya. Kau memperhatikannya bukan?”
“eh?” apa yang dia maksud adalah
shin? Apa dia mengira aku memperhatikan
shin? Padahal aku sedang memikirkan sikap woobin padaku dan dia malah mengira
aku memperhatikan mantan kekasihku?
“tunggu. Darimana kau tahu dia
mantan kekasihku?” tanyaku heran
“aku melihatnya. Saat kalian putus
di cafĂ© itu. itu juga pertama kali aku tertarik padamu” ucapnya seraya menutup
bagasi dan melihat tepat ke manik mataku. Membuat jantungku kembali berdetak
diluar kendali.
“benarkah? Aku baru tahu.”ucapku
cuek untuk menyembunyikan rasa Maluku.
“jangan mengalihkan pembicaraan.
Kau masih meyukainya?” tanyanya lagi saat aku baru membuka pintu mobil.
“tidak.” Ucapku tak yakin sambil
masuk kedalam mobil. Tak yakin? Apa maksudku? Aku bahkan sama sekali tidak
menyukai shin dari awal kami pacaran. Kenapa aku malah bingung menjawab
pertanyaan woobin? Kulihat woobin masuk kedalam mobil dan mulai menghidupkan
mesin. Dan, ekspresi wajahnya sulit kubaca. Sedikit aneh. Apa dia marah? Kenapa
dia harus marah? Apa dia, cemburu?
tapi woobin sama sekali tidak
berniat mengobrol di perjalanan pulang. Dia hanya menjawab seperlunya saat aku
mencoba mengajak bicara. Dia benar-benar marah untuk alasan yang tidak
kuketahui.
Woobin`s POV
“tidak”. Ucapnya. Meskipun hanya
satu kata, Ada nada ragu diucapannya. Jadi, dia benar-benar masih menyukai
mantannya itu? sial, aku jadi kesal mengetahuinya. Aku tidak bisa menahan rasa
amarahku. Dan daripada aku melampiaskannya pada jina, aku lebih memiih untuk
diam atau menjawab seadanya saat jina mengajakku bicara.
Dan karena sikapku, bisa kulihat
jina mulai gelisah. Dan akhirnya, kami tidak bicara satu sama lain lagi bahkan
setelah sampai dirumah. Saat makan malam, aku lebih memilih makan dikamar dan
jina pun tidak memaksaku makan bersamanya.
Haah, padahal aku yang mengatakan
padanya kalau aku tidak akan membiarkan dia sendirian lagi. Tapi sekarang,
justru aku yang meninggalkannya.
Next day, 7
am
Han`s home
Jina`s POV
Aku makan sendrian. Lagi. Semalam
woobin sama sekali tidak keluar kamar dan malah meminta kang ahjumma untuk
mengantarkan makanan ke kamarnya dengan alasan sedang sibuk. Membuatku makan
sendirian. Menyebalkan. Bukankah woobin sendiri yang bilang kalau dia tidak
akan membuatku sendirian lagi. Tapi belum ada sehari setelah dia mengatakan
itu, dia sendiri yang meninggalkanku.
Menyebalkan. Menyebalkan.
Menyebalkan.
TING TONG
Kudengar bel rumahku berbunyi. Dan
beberapa saat setelah itu, kang ahjumma mengahampiriku.
“nona, ada tamu yang mencari anda.”
Ucap kang ahjumma
“tamu? Siapa?” tanyaku heran. Siapa
yang mencariku pagi-pagi sekali. sunhee? Tidak mungkin. Kalau sunhee yang
datang, pasti dia tidak perlu memencat bel lagi.
“tuan shin, nona.”
“eh?” shin? Shin ada disini?
Kenapa?”
“iya. Tuan shin. Mantan kekasih
anda.” Ucap kang ahjumma meyakinkan. Akhirnya aku pergi keruang tamu.
“shin? Apa yang kau lakukan
disini?”tanyaku.
“hai, jina. Lama tidak bertemu.”
Ucapnya
“apa maumu?” tanyaku to the point
“aku ingin bicara. Ayo pergi
kekampus bersama.” Ajaknya.
“apa yang sedang kau bicarakan?
Kita kan sudah tidak ada hubungan apapun?” tanyaku heran
“eng, pokoknya, ayo pergi bersama.
Kita akan bicara di jalan.” Ucapnya.
Apa pria ini sudah gila? Dia yang
memutuskanku. Dan sekarang dia malah mendekatiku lagi? Bahkan mengajak pergi
bersama? Apa yang akan dikatakan woobin nanti kalau dia tahu? Woobin? Apa yang
kupikirkan? Woobin bahkan sudah melanggar janjinya.
“aku mengerti. Ayo pergi” ucapku
akhirnya.
Woobin`s POV
Aku keluar kamar lebih lambat dari
biasanya karena aku bangun kesiangan. Semalam aku tidak bisa tidur karena
memikirkan sikapku pada jina. Dan setelah aku bisa tidur, aku justru bangun
kesiangan sekarang. Kulihat kang ahjumma sedang membereskan piring-piring
diatas meja makan. Membereskan?
“apa jina sudah pergi?”tanyaku pada
kang ahjumma.
“sudah, tuan. Baru saja nona jina
pergi. Nona dijemput oleh tuan shin.” Ucap kang ahjumma.
“shin?” apa aku tidak salah dengar?
Shin? Mantan kekasih jina?
“iya. Mantan kekasih nona jina.
Beliau datang saat nona jina sedang sarapan. Dan mereka pergi bersama setelah
itu.” ucap kang ahjumma.
“aish.” Aku langsung berlari
kekamarku dan mengganti baju. Mengambil dompet dan kunci mobilku dan keluar
rumah. Menancap gas dengan cukup kuat. Aku harus ke kampus sekarang. Jangan
sampai jina dan shin kembali pacaran. Jina milikku. Tidak akan kubiarkan
siapapun merebutnya.
At shin`s
car
Jina`s POV
“jadi, apa yang ingin kau
bicarakan?” tanyaku
“kudengar kau sudah bertunangan.”
“iya.”jawabku singkat. “kami
dijodohkan.”
“berarti kau tidak mencintainya,
bukan?”
“apa maumu? Aku mencintainya atau
tidak bukan urusanmu kan?”
“tapi aku masih mencintaimu, jina-ah”
. ucapannya membuatku kaget. shin mencintaiku?
“tapi kau yang meniggalkanku.”
Ucapku
“itu karena aku, bingung dengan
perasaanmu. Kau tidak pernah menunjukkan ketertarikanmu padaku.” Ucapnya. Ah,
ini semua salahku. Karena sikap dinginku pada shin lah yang membuatnya
meninggalkanku.
“lalu?”
“aku ingin kau kembali padaku.”
“aku tidak mau. Aku tidak punya
perasaan apa-apa padamu.”ucapku dingin sembari keluar dari dalam mobil. Aku
langsung berjalan cepat kearah kelasku. Menghiraukan shin yang masih
memanggilku berkali-kali.
At class
Kulihat sunhee sudah berada dikelas. Sedang senyum-senyum
sembari melihat handphonenya.
“kau sedang melihat apa?” tanyaku
saat sampai di tempat duduk.
“eh. Morning, princess. Bagaimana
kabarmu?” ucap sunhee sambil tersenyum.
“aku Tanya, kau sedang lihat apa
sampai membuatmu senyum-senyum sendiri? Seperti orang gila.” Ucapku mengejek.
“lihat ini.” Ucapnya sambil
menyerahkan handphonenya padaku. Kulihat sebuah foto. Foto sunhee bersama
dengan jongsuk sunbae. Mereka sudah pacaran.
“kami pergi ke taman bermain
kemarin. Hehehe” ucapnya lagi saat aku menyerahkan kembali handphonenya.
“sunhee-ah. jina-ah.” panggil seseorang.
Ternyata jongsuk sunbae.
“pagi darling.” Ucap sunhee.
“pagi juga, darling” ucap jongsuk.
Huuek. Membuatku ingin muntah saja.
“aku pergi saja deh. Takut
menggangu.” Ucapku.
“tidak. Tunggu. Aku kesini justru
ingin bicara denganmu. Bertanya, lebih tepatnya.” Ucap jongsuk sunbae.
“denganku?” tanyaku heran sembari
kembali duduk.
“ada apa dengan hubunganmu dan
woobin?” tanyanya.
“apa maksudmu? Tidak ada apa-apa.”
ucapku
“tadi aku melihatmu datang bersama
pria lain.” ucapnya. Ups, sepertinya akan ada gossip baru.
“pria lain? bukan woobin oppa?
Siapa yang mengantarmu, jina?” Tanya sunhee ikut-ikutan.
“shin. Shin datang kerumahku dan
mengajakku pergi bersama.”ucapku santai.
“APA?!” Ucap sunhee kaget
“shin? Siapa?” Tanya jongsuk sunbae
“mantan jina”ucap sunhee.
“kenapa dia menjemputmu? Apa dia
ingin jadian lagi denganmu?” Tanya sunhee.
“begitulah. Tapi aku tidak mau.”
Ucapku.
“tentu saja harus kau tolak. Kau
kan sudah punya woobin.” Ucap jongsuk. Aku ingin sekali berteriak padanya kalau
woobin baru saja menghianatiku. Tapi kutahan entah karena apa. menghianati?
Kami bahkan tidak dekat dan hubungan kami baru sampai pada tahap saling
mengenal.
Dosenku tiba-tiba memasuki kelas.
Membuat jongsuk sunbae langsung keluar kelas dan pembicaraan kami terhenti
sampai disitu.
Woobin`s POV
Aku harus menemuinya. Gadis itu.
kami harus bicara. Aku harus minta maaf atas sikapku dari kemarin. Aku harus
memperbaiki hubungan kami. Sial. Aku sangat bodoh. Padahal jina sudah mulai
membuka diri padaku. Tapi aku justru menghancurkan kepercayaannya hanya karena
aku cemburu.
“woobin oppa.” Panggil seseorang.
Choi hyunji. Dia adalah tetanggaku sejak kecil sampai dia dan keluarganya
pindah rumah saat aku SMP.
“wae? Kau mencari seseorang?”
tanyanya.
“jina. Aku mencari jina. Kau
melihatnya?” aku tahu hyunji pasti kenal jina. Aku bahkan sanksi ada mahasiswa
yang tidak tahu jina.
“jina? Tunanganmu? Lihat. Dia
sedang ada kelas. Oya, apa kau dan jina sedang ada masalah? Kulihat tadi pagi
dia datang bersama shin.” Ucapnya.
“bukankah pria yang bernama shin
itu pacarmu? Aku melihat kalian berdua kemarin di Mall.”tanyaku.
“mantan. Kami putus kemarin. Dia
bilang dia ingin kembali pada mantannya. Dia ingin kembali pada jina.” Ucap
hyunji. Membuatku kaget. ternyata benar. Lelaki itu datang kerumah tadi pagi
untuk kembali pada jina. Apa jina menerimanya? Bukankah jina masih menyukai
pria itu? pikiran-pikiran buruk seperti itu berkelebat didalam kepalaku.
“oppa? Woobin oppa?” panggil
hyunji. Sepertinya aku melamun.
“mianhe, hyunji-ah. aku pergi
dulu.” Ucapku. Baru aku melangkah, tiba-tiba hyunji berdiri kedepanku dan
memelukku. Membuatku kaget setengah mati dengan sikapnya.
“oppa, saranghae.” Ucap hyunji.
Jina`s POV
“kau benar-benar menolak ajakan
shin untuk kembali bukan?” Tanya sunhee untuk kesekian kalinya.
“iya, nona sunhee. Aku belum cukup
gila untuk menerima ajakan shin sedangkan statusku sekarang adalah tunangan
orang. Huuh. Kau cerewet sekali.” ucapku.
“aku mengerti. Oh? Itu jongsuk
sunbae. Aku akan kesana. Aku pergi dulu ya, jina-ah. kalau ada apa-apa kau
harus segera memberitahuku.” Ucap sunhee
“arra, arra. Pergilah. Kau berisik
sekali” ucapku sambil sedikit mendorong sunhee pergi menjauh.
Baru sunhee pergi, saat aku hendak
berjalan pergi, tiba-tiba tubuhku menegang seketika. Karena didepan sana, aku
melihat woobin. Sedang berpelukan dengan seorang gadis. Aku tidak mengerti
dengan perasaanku sekarang. Sakit. Sangat sakit. Aku merasa tubuhku limbung
sesaat sebelum seseorang menutup mataku dari belakang dan menarikku pergi dari
tempat itu.
“shin?!” ucapku saat melihat siapa
yang menarikku. Tapi shin tidak mengatakan apa-apa. dia hanya menarikku dan
membawaku ke taman kampus yang tidak terlalu ramai, mendudukkanku disalah satu
bangku.
“kau tidak apa-apa?”tanyanya saat
melihat mataku yang sudah penuh menahan air mata. Aku tidak bisa bicara
apa-apa. aku takut saat aku mengeluarkan suara, air mataku akan jatuh.
“jina-ah.”ucapnya. aku hanya
menggelengkan kepala.
“kau, kau mencintainya?” pertanyaan
shin membuat air mataku tak bisa kubendung lagi. Seketika aku menangis
sejadi-jadinya.
“sakit. Sakit, shin.” Ucapku
disela-sela tangisanku.
“aku, aku mencintainya.” Ucapku
akhirnya. Shin hanya memandangiku sejenak dan langsung menarikku kedalam
pelukannya. Menenangkanku.
“tenanglah. Menangislah. Keluarkan
semua perasaanmu.”ucapnya. aku hanya bisa semakin menangis mendengar
kata-katanya. Aku sudah menyakitinya tetapi dia masih mau menenangkanku. Aku
menggelamkan kepalaku didadanya dan menangis sepuasku.
Woobin`s POV
“saranghae, oppa.” Ucap hyunji.
“apa? apa kau sedang bercanda?”
ucapku sambil melepaskan pelukannya.
“tidak. Aku tidak bercanda. Aku
selalu menyukaimu. Tapi kau tidak pernah tertarik padaku. Tapi kali ini, aku
ingin mengatakannya dengan jelas padamu, oppa. Aku mencintaimu.”
“mianhae, hyunji-ah. aku sudah
punya tunangan.” Ucapku
“aku tahu. Tapi kalian dijodohkan,
bukan? Kalian tidak saling mencintai. Kau bisa membatalkan perjodohan ini dan
mulai mencintaiku, oppa. Jebal.” Ucapnya.
“mianhae. Aku mencintainya. Dan aku
tidak akan menyerah untuk mendapatkannya.” Ucapku mantap. Ini pertama kalinya
aku mengakui perasaanku pada jina didepan orang. Bahkan didepan jongsuk
sekalipun aku selalu bilang kalau aku tertarik dengan jina. Tidak lebih. Tapi
kali ini, aku tidak akan ragu. Aku memang mencintai jina.
Hyunji sepertinya syok mendengar
kata-kataku dan langsung pergi meninggalkanku. Dan aku langsung teringat dengan
tujuan awalku. Jina. Baru aku membalikkan badan, aku sangat terkejut melihat
jongsuk dan sunhee yang sedang menatapku dengan tatapan marah. Ada apa dengan
mereka? Apa jangan-jangan mereka
melihatku berpelukan dengan hyunji barusan?
“jongsuk-ah” ucapku sambil berjalan
mendekati jongsuk.
“kau pria brengsek.” Ucap sunhee
blak-blakan. Tebakanku benar. Mereka melihatnya.
“aku bisa jelaskan. Aku..” ucapku
“bukan pada kami kau harus
menjelaskannya, woobin-ah.”ucap jongsuk membuatku tidak mengerti.
“oppa harus menjelaskannya pada
jina.”ucap sunhee
“jina?!” ucapku kaget. apa jina
melihatnya?
“jina melihatnya. Dan dia terlihat
sangat kaget.” ucap jongsuk
“dan shin membawanya pergi.” Lanjut
sunhee. Jina melihatnya? Apalagi shin yang membawa pergi jina. Situasi macam
apa ini?
“mereka pergi kemana?” ucapku
“tidak tahu. Kau harus mencarinya
sendiri. Kasihan jina. Padahal dia sudah mulai membuka diri padamu. Tapi kau
justru dengan mudah menghianatinya.” Ucap sunhee.
“bukan begitu. Aku sama sekali
tidak bermaksud..”
“pergilah.” Ucap jongsuk
mengingatkan. Aku langsung berlari meninggalkan mereka. Benar. Jina adalah
prioritasku sekarang. Aku berlari kearah taman kampus. Aku mulai mengedarkan
pandanganku. Mencari keberadaan jina. Dan betapa terkejutnya aku saat aku
melihatnya. Jina. Jina sedang berpelukan dengan pria itu. apa jina menerima
shin lagi? Apa aku terlambat? Dadaku langsung sakit melihatnya. Apa seperti ini
perasaan jina saat melihatku berpelukan dengan hyunji tadi? Dan dadaku tambah
sakit melihat jina tertawa pada shin saat pria itu menghapus air mata jina. Aku
tidak tahan melihatnya. Aku langsung pergi meniggalkan tempat itu secepatnya.
Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Aku hanya ingin segera
pergi dari tempat itu.
Jina`s POV
Aku menangis cukup keras dan baru
menyadarinya saat shin menegurku.
“jina-ah. beberapa orang melihat
kearah kita dengan tatapan aneh. Mereka mungkin mengira kau menangis karena aku
ingin putus darimu dan kau memelukku karena tidak rela aku tinggalkan.”
Ucapnya. Seketika aku langsung menegakkan kepalaku dan tertawa. Seperti biasa.
Shin sering berusaha membuatku tertawa dengan bercandaannya dan itu sering
berhasil meskipun aku tidak punya perasaan apapun padanya. Dia menghapus sisa
air mataku dengan jarinya.
“aneh. Meskipun kau menangis, kau
masih terlihat cantik. Sudah diduga dari seorang putri kampus.” Ucapnya lagi
yang membuatku tersenyum.hanya sebentar.
“mianhae, shin. Aku..”
“shh. Kau tidak perlu mengatakan
apapun lagi. Aku mengerti kalau kau memang tidak bisa kembali padaku. Tapi, aku
masih boleh berhubungan denganmu kan? Sebagai teman?” tanyanya.
“eng, pasti. Gomawo, shin” ucapku.
“ayo. Kuantar pulang.” Tawarnya.
“iya. Ah, tapi, aku tidak ingin
pulang kerumah. Bisakah kau mengantarku kerumah sunhee?” ucapku. Aku tidak
ingin pulang kerumah dengan keadaan seperti ini. Aku harus menenangkan diri
dulu.
“aku mengerti. Kajja”.
Park`s
home, apgujeong-dong, gangnam-gu, south korea
21.00 pm
“kau sudah capek? Ingin tidur
sekarang?” Tanya sunhee.
“iya. Maaf ya, sunhee. Aku pasti
mengganggu.”ucapku
“tidak. Sama sekali tidak
mengganggu kok. Aku justru senang kau kesini dan menginap. Kau butuh tempat
untuk menenangkan diri.” Ucap sunhee. “tidurlah.” Ucapnya lagi
“gomawo, sunhee.”ucapku. siang
tadi, saat shin mengantarku pulang, aku mampir kerumah untuk mengambil beberapa
pakaian sebentar dan merasa lega saat tahu kalau woobin belum pulang. Dengan
dalih ada tugas, aku mendapat izin dari kang ahjumma untuk menginap dirumah
sunhee tapi memintanya untuk tidak memberitahu woobin tentang ini. Dan
sepertinya kang ahjumma mengerti,dan mengabulkan permintaanku. Buktinya, woobin
sama sekali tidak datang kerumah sunhee untuk mencariku. Atau bahkan mungkin
dia tidak perduli padaku.
Woobin`s POV
Sekarang sudah jam Sembilan malam.
Dan jina belum pulang. Aku mulai gelisah. Berpikir dimana gadis itu sekarang.
Apa jangan-jangan dia masih bersama pria itu? pikiranku makin kacau saat kang
ahjumma bilang jina tidak pulang tadi siang atau menelepon kerumah membeikan
kabar.
Kuraih handphone ku dan menelepon
jongsuk. Memintanya menelepon sunhee untuk bertanya apa jina ada dirumahnya
atau tidak. Tapi jongsuk bilang tidak ada. Membuatku makin panik.
Kuraih kunci mobilku dan mulai
menyusuri jalanan untuk mencarinya. Tapi sudah dua jam aku mencarinya, tidak
ketemu. Aku memutar mobilku dan memutuskan untuk pulang. Siapa tahu jina sudah
pulang. Tapi ternyata nihil. Kuputuskan untuk menunggunya pulang.
Next day
Sampai pagi aku menuggunya tanpa
tidur. Tapi gadis itu sama sekali tidak pulang. Aku yakin dia menginap dirumah
temannya. Tapi setahuku jina hanya punya satu teman dekat. Yaitu sunhee.
Jongsuk bilang jina tidak menginap dirumah sunhee. Apa itu artinya jina
menginap dirumah, shin? Kutepis pemikiran itu.
Kuputuskan untuk mencarinya lagi di
kampus. Aku sudah merasa putus asa sekarang. Aku merasa sesak nafas karena
tidak ada jina. Entah sejak kapan, gadis itu sudah seperti oksigen buatku. Aku
membutuhkannya agar aku bisa tetap hidup.
At
university
Aku mencarinya keliling kampus.
Tapi tidak ketemu. Pria bernama shin itupun tidak kelihatan batang hidungnya. wajar
saja, woobin pabo. Ini hari minggu. Siapa yang akan datang ke kampus di hari
minggu? Aku mengirim pesan pada jongsuk dan menanyakan sedang ada dimana dia
sekarang. membuatku sedikit lega saat tahu dia sedang bersama sunhee. Aku
langsung pergi ketempat mereka berdua untuk menanyakan keberadaan jina. Aku
yakin sunhee tahu dimana gadis itu berada.
“sunhee-ah.”panggilku. tapi aku
melihat ekspresi sunhee agak aneh. Pasti dia tahu apa yang ingin kuketahui.
Keberadaan jina.
“dimana jina?”tanyaku langsung
“eng, tidak tahu. Bukankah
dirumah?” ucapnya gelagapan. Membuatku semakin yakin kalau sunhee tahu dimana
jina. Bodoh sekali aku percaya padanya kemarin saat dia mengatakan padaku kalau
dia tidak tahu dimana jina.
“kumohon beritahu aku, sunhee-ah.
aku sudah mencarinya kemana-kemana. Aku juga menuggunya semalaman tapi dia sama
sekali tidak pulang kerumah. Kumohon, aku harus segera menyelesaikan
kesalahpahaman ini.” Ucapku memelas
“haah. Beritahu saja, hee-ah.”ucap
jongsuk akhirnya.
“arraseo. Jina ada dirumahku. Dia
menginap dirumahku semalam. Oppa, kumohon. Jangan sakiti jina.” Ucapnya pada
akhirnya.
“gomawo, sunhee-ah.” ucapku dan
langsung berlari ke parkiran. Mengambil mobilku dan menancap gas. Setelah
beberapa saat, aku langsung teringat sesuatu dan mengeluarkan handphoneku.
Mengetik sebuah pesan
To: jongsuk
Jongsuk-ah. dimana rumah sunhee?
Send. Aku baru sadar kalau aku
tidak tahu rumah sunhee. Aku merasa bodoh karena tadi aku langsung berlari
dengan semangat saat tahu dimana jina berada. Aku mulai menancap gas lagi saat
menerima pesan balasan dari jongsuk.
Park`s
home
Diihat dari alamat yang dikirimkan
jongsuk, aku yakin ini rumahnya. Ditambah plat bertuliskan park`s home didepan
rumahnya, membuat aku yakin tidak salah tempat. Dari pesan jongsuk, dia bilang
jina sedang sendirian dirumah sunhee karena orangtua sunhee sedang pergi keluar
kota.
Kuparkir mobilku didepan pagar dan
kumasuki rumahnya. Tidak sampai pintu karena aku melihat apa yang kucari sudah
berada didepanku. Jina. Gadis itu sedang menyiram tanaman didepan rumah.
Memunggungi aku yang membuatnya tidak mengetahui keberadaanku.
“jina?” panggilku. Jina menoleh
kearahku dan langsung terkejut dengan kedatanganku. Aku tidak perduli dengan
perasaannya sekarang. Aku langsung berjalan kearahnya dan menariknya kedalam
pelukanku dan mendekapnya erat.
“jina. Jina.” Ucapku berulang kali.
Aku sudah bisa bernafas sekarang karena oksigenku sudah ada dalam dekapanku
lagi.
Jina`s POV
Aku sangat terkejut melihat woobin
ada disini. Cih, pasti sunhee yang memberitahunya. Dan aku lebih terkejut lagi
saat woobin berjalan kearahku dan memelukku. Menyebut namaku berulang kali. Aku
sangat terkejut dan langsung melepaskan pelukannya. Menatapnya dengan bingung.
“jina-ah, aku merindukanmu.
Pulanglah. Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Ucapnya. Membuat jantungku mendadak
berhenti berdetak.
“apa maksudmu? Bukankah kau sudah
punya kekasih? Wanita yang kemarin..”
“dia bukan kekasihku. Jina-ah. kau
harus percaya padaku.” Ucapnya memotong ucapanku.
“percaya apa? kau menghancurkan
kepercayaanku. Kau bilang kau tidak akan membuatku kesepian. Tapi setelah kau
mengatakan itu, kau malah mendiamkanku. Bagaimana bisa aku percaya padamu?”
ucapku frustasi. Baru aku akan melanjutkan kalimatku saat handphoneku berbunyi
menandakan telepon masuk. Shin. Baru akan aku angkat, tiba-tiba woobin
mengambil handphoneku dengan kasar dan melemparnya sembarangan.
“yak! Apa yang kau lakukan?”
Teriakku. Aku tidak habis pikir apa yang baru saja dilakukannya.
“apa yang kulakukan? Apa yang kau lakukan, jina-ah. kau
sedang bicara denganku. Bukan saatnya menerima telepon dari orang lain.”ucapnya
“itu bukan urusanmu. Dan kalau kau
lupa, woobin-ssi. Kita dijodohkan. Tidak ada landasan perasaan apapun. Dan aku
sudah mengatakannya padamu. Jangan campuri urusanku. Dengan siapapun aku
berhubungan, itu tidak ada urusannya denganmu.” Ucapku frustasi.
Author`s POV
“hentikan omong kosongmu itu, oke?”ucap woobin. Tatapan matanya
terlihat marah. “apa kau segitu bodohnya sampai tidak menyadari perasaanku?”
desis woobin sambil menarik pinggang gadis itu mendekat, membiarkan bibir
mereka menempel dalam satu sentuhan ringan, sebelum memberikan lumatan pelan
dan mendesak, membuat jina dengan refleks berjinjit.
Woobin
memiringkan wajahnya, menggigit bibir gadis itu ringan, mencari celah untuk
masuk. Dan saat dia mendapatkannya, dia menjelajahi rongga mulut gadis itu
dengan lidahnya, hanya sebentar kerana setelah itu dengan penuh kendali pria
itu mendorong wajah jina, memberikan jarak beberapa inci di antara bibir
mereka.
Jina
merasakan nafasnya sendiri memburu, berusaha keras menghirup oksigen sebanyak
yang dia bisa. Pria sialan ini bertindak sembarangan lagi dan dia lagi-lagi
dengan bodohnya tidak bisa melakukan apa-apa. Setiap sentuhan dari pria itu
membuat otaknya macet dan tidak bisa berpikir waras.
“brengsek,
kau.” Ucap jina. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. dia terduduk
di tanah. Membenakan wajahnya keatas lutut. Apa woobin benar-benar
mencintainya? Ia ingin tahu, ia ingin woobin memberitahunya dengan jelas. Tapi
ia juga tidak bisa menanyakannya karena takut mendengar jawabannya. Bagaimana
kalau sikap woobin selama ini karena ia tidak mau kehilangan perusahaannya?
Bagaimana kalau sikap woobin selama ini hanya untuk membuat hubungan baik
dengannya? Ia takut. Ia takut ditinggalkan lagi seperti dulu.
Woobin`s POV
Aku
memandangi tubuhnya yang terpuruk ditanah. Apa susah sekali baginya untuk
belajar mencintaiku? Tapi
tentu saja, dengan segala keegoisanku, aku tidak sanggup melepaskannya. Aku
bisa hidup tanpa dia, mungkin aku akan jadi setengah gila kalau itu terjadi,
tapi aku tidak mau hidup tanpa dia, karena aku tahu bagaimana akibatnya
untukku. Aku berlutut di hadapannya, menarik tubuh yang rapuh itu ke dalam
pelukanku. Aku bisa mendengarnya menangis terisak-isak, tidak beraksi apa-apa
terhadap perlakuanku.
“tenanglah.
Aku tidak akan menuntut apapun darimu lebih dari ini. Tapi kumohon, belajarlah
untuk menerimaku.” Ucapku.
Jina
melepaskan pelukanku dan menatapku. Setelah itu dia menganggukkan kepalanya.
Membuatku menghela napas lega. Aku tidak ingin menuntut lebih jauh lagi. Karena
aku tidak ingin mendengar penolakan dari gadis ini. Aku akan hancur kalau itu
sampai terjadi.
“ayo
pulang.” Ucapku sambil membantunya berdiri.
Han`s home
Jina`s POV
Aku tidak ingin memikirkan
apa-apa. aku tidak ingin menanyakan apapun. belum. Aku tidak siap mendengar
jawaban woobin. Tapi aku tidak bisa terus menghindar. Aku juga belum bisa
memastikan perasaanku. Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada pria ini atau
tidak. Jadi aku memutuskan untuk mencoba mencari tahu bagaimana perasaan pria
ini padaku sedikit demi sedikit. Toh, masih ada waktu sampai keluarga kami
memutuskan pernikahan.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi.
Menandakan ada pesan masuk.
From : 09xxx
Jina-ah, apa kabar? Aku sudah
pulang ke korea. Dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu.
Bagaimana kalau besok kita bertemu? Makan siang bersama mungkin?
Jongin_
Aku merasa seperti tersambar
petir membaca pesan itu. jongin? Jongin? JONGIN? DIA SUDAH KEMBALI KE KOREA?
Woobin`s POV
Aku tidak bisa membendung
perasaanku lagi. Aku ingin secepatnya menjadikan jina milikku seutuhnya.
“yeoboseo? Appa? Ada yang ingin
kuminta. Soal pernikahanku. Apa bisa appa mempercepatnya menjadi bulan depan?”
TBC
CERITA RIKA [cerpen]
CERITA RIKA
Disaat seperti ini, merupakan suasana yang bagus jika
digunakan untuk bersantai. Membaca buku sembari menyesap secangkir teh hangat
dan duduk dikursi dibalkon kamar yang menghadap ke taman belakang, diterpa
angin dingin yang mulai berhembus menandakan musim panas akan segera berakhir
sampai bulan benar-benar menunjukkan senyumnya.
Tapi kenyataan berbanding terbalik. Bukan ketenangan seperti
yang kuharapkan yang kudapat, tetapi suara-suara yang saling mencaci-maki satu
sama lainlah yang masuk kedalam gendang telinga. Bagaikan barang rongsokan yang
sudah tak terpakai lagi, perabotan saling dijatuhkan dengan sengaja.
Aku hanya bisa mendengar, meringkuk dibalik selimut dan
memeluk tuan beruang dengan erat. Bagaikan anak kecil yang takut petir saat
hujan deras, aku bersembunyi berharap suara-suara itu akan segera hilang. Ini
bahkan lebih menakutkan dari petir saat hujan deras. Mereka saling melontarkan
kata-kata kasar satu sama lain. menumpahkan segala sumpah serapah yang akan
diakhiri dengan bantingan pintu depan yang menandakan salah satu dari mereka
telah pergi.
Tapi ini bukan akhir dari perang. Mereka akan mengulangi
pertengkaran seperti hari ini lagi saat mereka bertemu lagi nanti. Bertengkar
lagi, membanting semua barang yang ada disekitarnya dan akan diakhiri dengan
bantingan pintu. Lagi. Selalu seperti itu.
Dan yang bisa aku
lakukan hanya bersembunyi dikamar seperti anak kecil dan meringkuk dibalik
selimut. Lagi. Tak ada yang bisa kulakukan. Bukan berarti belum pernah kucoba.
Tapi semua itu sia-sia.
“ibu? Apa ibu baik-baik saja?” tanyaku saat aku mencoba
keluar kamar. Melihat siapa yang pergi dan siapa yang ditinggalkan.
“jangan ikut campur urusan orang tua. Yang perlu kau lakukan
adalah belajar. Tidak perlu pikirkan hal lain lagi.” Jawab ibu sembari pergi entah
kemana. Lagi. Selalu seperti ini. Bagi mereka, rumah hanyalah tempat untuk
mereka saling mencaci-maki. Setelah itu, mereka akan pergi entah kemana tanpa
pulang selama beberapa hari. Meninggalkan aku sendirian dirumah. Dan saat
mereka kembali ke rumah, mereka akan mengulangi pertengkaran yang sama dan
kemudian pergi lagi.
Pertengkaran sudah bukan lagi hal yang asing di keluarga
ini. Keluarga? Apa ini bisa disebut sebagai keluaga? Apa ini yang namanya
keluarga? Aku sendirian di dunia ini. Itu kenyataannya. Dan aku benci kenyataan
ini. Aku benci keluarga ini. Aku benci dunia ini. Aku benci hidup ini. Dan aku
lebih benci lagi pada diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Di sekolahpun aku tidak punya teman. Dulu pernah ada. Tapi
mereka semua meniggalkan aku karena latar belakang keluargaku yang berantakan.
Mereka sama jahatnya dengan orangtuaku. Mereka meninggalkan aku disaat aku
membutuhkan mereka.
Tapi sekarang aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Kalau
mereka tidak membutuhkan aku, maka aku juga tidak membutuhkan mereka. Aku bisa
melakukan semuanya sendirian. Akan kubuktikan pada mereka semua kalau meskipun
tanpa mereka, aku masih bisa hidup meskipun aku enggan.
Hari ini pun sekolah seperti biasa. Belajar, setelah itu
pulang ke rumah. Saat pulang pun, aku tidak perlu mengucapkan “aku pulang”
karena aku tahu tidak akan ada siapa-siapa yang menyambutku.
“seharusnya kau mengatakan `aku pulang` saat memasuki rumah,
bukan?” ucap seseorang yang membuatku kaget saat aku memasuki rumah.
“si..siapa kau?!” tanyaku kaget melihat seorang perempuan
yang tidak kukenal. melihat penampilan dan wajahnya, kupikir umurnya tidak jauh
beda denganku atau seumuran denganku.
“aku? perkenalkan, namaku Maria. aku adalah seorang malaikat.
Aku datang dari surga untuk menyemangati Rika. Aku akan mengembalikan senyuman
Rika yang manis seperti dulu lagi.” Ucapnya dengan nada riang.
“Haahh?!!” menyemangatiku? Untuk apa? siapa sebenarnya orang
aneh ini? Penguntit? Kenapa ada dirumahku?. Pikirku dalam hati.
“Dari surga aku melihat kau selalu sedih dan terpuruk karena
masalah dalam keluargamu. Dan aku tidak bisa tinggal diam dan melihatnya begitu
saja. Karena itu aku datang untuk membantumu...”
“hentikan!! Jangan bercanda. Sama sekali tidak lucu. Apa
maumu? Kau itu siapa? Aku tidak butuh bantuanmu sama sekali. keluar dari
rumahku sekarang juga.” Bentakku.
“ah, tapi rika..”
BRAK! Kubanting pintu kamarku dan menguncinya. Apa-apaan
dia? Mengembalikan senyumanku? Mustahil. Aku sudah menutup rapat-rapat hatiku
untuk orang lain. dan sudah lama pula aku tidak tersenyum. Bahkan mungkin aku
sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.
Krieet…
“Sepi sekali. sepertinya orang aneh itu sudah pergi.” Ucapku
saat keluar kamar. Perutku sudah mulai berteriak meminta diisi. Kubuka pintu
lemari es dan hanya menemukan beberapa botol berisi air putih. Tidak ada
makanan.
“Hhh.. sepertinya aku harus ke supermarket.”
Baru aku akan keluar rumah, pintu depan tiba-tiba terbuka.
Aku kaget mengira ayah atau ibuku pulang. Tumben sekali. padahal ini masih
sore.
“Rika. Bisa bantu aku membawa barang belanjaan ini masuk?”
ucap seseorang yang sedang berusaha membuka pintu dengan mendorongnya
menggunakan kaki.
“Huh? Kau? Kenapa kau masih ada disini?” tanyaku saat
melihat ternyata orang yang datang bukanlah ayah atau ibuku melainkan perempuan
aneh yang mengaku-aku seorang malaikat.
“Bertanya nanti saja. Sekarang bantu aku memasukkan barang
belanjaan ini kedalam. Aku membeli banyak barang” ucapnya sambil menunjuk
kearah tiga kantung plastik yang ada ditangannya.
“Kenapa kau berbelanja sebanyak ini? Untuk apa?” tanyaku
sambil membantunya menaruh kantong belanja tersebut diatas meja.
“Aku melihat isi kulkasmu. Tidak ada apa-apa. karena itu aku
belanja untuk keperluan kita sehari-hari.” Ucapnya dengan senyum manis
diwajahnya.
“Kau tidak perlu bersusah payah berbelanja. Aku bisa membeli
makanan cepat saji. Dan apa maksudmu dengan keperluan kita?”
“Tentu saja maksudku keperluan kita berdua sehari-hari. Aku
kan akan tinggal disini mulai sekarang.” ucapnya santai.
“Apa?! apa maksudmu tinggal disini bersamaku? Bagaimana
kalau orangtuaku tahu? Mereka bisa marah besar padaku.”
“Tidak akan terjadi apa-apa. percayalah padaku. Aku bisa
mengatasinya.” Ucapnya menenangkan. “Daripada berdebat sekarang, lebih baik
kita makan. Aku sudah lapar. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu.” Ucapnya
lagi.
Dan aku tidak bisa mendebatnya sekarang karena aku merasakan
perutku mulai berbunyi menandakan aku sangat lapar. Maria benar-benar memasak
makanan. Dan makanan yang dibuatnya benar-benar enak. Ini pertama kalinya dalam
beberapa tahun aku merasakan masakan buatan seseorang. Dan ini membuatku
terharu.
“Bagaimana rasanya?”
“Ehm, enak.” Ucapku singkat. Aku terlalu gengsi untuk
mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Dan maria hanya tersenyum saja
melihat reaksiku.
“Baiklah. Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan?”
ajak maria saat dia telah selesai mencuci piring yang kami pakai untuk makan
tadi.
“Jalan-jalan?”
“Iya. Ke taman bermain mungkin? Atau shoping? Kau maunya kemana? Aku ingin mengajakmu pergi ke tempat
yang kau sukai.”
“Percuma saja. Tidak perlu.” Ucapku ketus.
“Kenapa kau tidak mau bersenang-senang? Apa salahnya kau
bersenang-senang? Daripada kau terus terpuruk dengan keadaan keluargamu, lebih
baik kau lupakan semua masalahmu dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Kau tidak
bisa terus-terusan seperti ini.”
“Jangan ikut campur urusanku.” Bentakku.
“Ugh. Kau keras kepala sekali. kalau kau tidak mau, maka aku
akan menggunakan cara paksa.” Ucapnya.
“Ehh?”
Tiba-tiba dia menarik lenganku dan membawaku keluar rumah.
Terus menyeretku menaiki bus sampai kami tiba di taman bermain.
“Kau ternyata tipe orang yang suka memaksa ya?” Ucapku
menyindir saat kami tiba di taman bermain. Sedangkan yang ditanya hanya
tersenyum.
“Hmm.. kita mulai naik wahana apa ya?”ucapnya bersemangat.
“ah, kita mulai dari itu.” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu dan mulai
menarik lenganku lahgi. Dan ternyata wahana yang dimaksud adalah rumah hantu.
“tu..tunggu. aku tidak mau. Aku takut dengan wahana-wahana
yang menyeramkan seperti ini.” Ucapku ketakutan. Jujur saja, aku sangat takut
dengan hal-hal menyeramkan seperti ini. Tapi sepertinya protesku tak dihiraukan
oleh Maria. Dia tetap menarikku memasuki wahana rumah hantu. Dan tidak berhenti
sampai disitu. Dalam ingatanku, setelah rumah hantu, wahana yang kami naiki
adalah roller coster. Setelah itu
kami menaiki beberapa wahana lagi yang sama-sama menguji adrenalin. Perempuan
ini benar-benar memiliki selera yang mengerikan rupanya, pikirku.
“Haa.. senangnya. Selanjutnya kita naik wahana apa, ya?”
ucap Maria riang setelah kami baru saja menaiki wahana yang bernama tornado.
“Tung.. tunggu dulu. Bisakah kita istirahat dulu? Apa kau
tidak lelah?” cegahku sebelum aku kembali ditarik untuk menaiki wahana lain
yang sudah bisa ditebak pastilah wahana yang menakutkan.
“Kau sudah lelah? Hm, baiklah. Ayo kita duduk dulu di kursi
itu.” ucapnya sambil menunjuk sebuah kursi panjang di bawah pohon.
“Ini. Minumlah.” Tawar maria padaku sambil menyerahkan
sekaleng minuman dingin yang baru saja dibelinya.
“Ah, terima kasih.” Ucapku sembari menerima kaleng dingin
tersebut.
“Bagaimana? Apa kau bersenang-senang hari ini?” tanyanya.
“Bersenang-senang?” ucapku tak percaya. “wahana yang kita
naiki hanya wahana yang mengerikan dan menegangkan. Bagaimana aku bisa
bersenang-senang?”
“Kau tidak suka? Padahal menurutku tadi itu sangat
menyenangkan.” Ucapnya dengan tampang tak berdosa.
“Hanya kau saja yang bersenang-senang. Aku sama sekali tidak
senang. Seperti anak kecil saja.”
“Kau ini. Tidak sopan sekali pada malaikat.”
“Mana ada malaikat seperti itu? jangan bercanda.”
“Haha. Ternyata kau masih tidak percaya ya? Bagaimana
caranya agar kau bisa percaya padaku?” ucapnya menantang.
“Ha? Kau serius? Kalau begitu, bawa aku ketempat ayahku. Aku
ingin bertemu dengannya. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya.” Ucapku menantang
balik. Tentu saja aku yakin maria tidak akan bisa melakukannya. Aku saja tidak
tahu dimana ayahku berada sekarang.
“Baiklah. Sekarang, tutup matamu.” Ucapnya dengan raut wajah
serius.
“Eh? Menutup mata?” astaga. Jangan bilang kalau perempuan
ini benar-benar sudah gila. Atau, jangan-jangan dia benar-benar bisa menemukan
ayahku?
“Sudahah. Tutup saja matamu dan percayalah padaku.” Ucapnya
lagi meyakinkan. Dan anehnya, aku menuruti saja permintaannya.
“Satu, dua, tiga… empat! Nah, bukalah matamu.” Ucap maria.
Dan sesuai perintahnya, aku membuka mataku dan melihat pemandangan asing
disekelilingku.
Aku terkejut setengah mati dengan apa yang baru saja
terjadi. Beberapa detik yang lalu kami masih duduk dikursi di taman bermain.
Dan lihat sekarang. kami ada dimana? Yang jelas ini bukan Taman bermain. Ini,
jalan disebuah perumahan sepertinya.
“A…apa yang baru saja terjadi?” tanyaku gelagapan.
“Sekarang kau percaya padaku?” ucapnya dengan senyum
kemenangan diwajahnya.
“Tidak. Lagipula, aku bilang aku ingin menemui ayahku. Dan
dimana kita sekarang? aku tidak melihat siapa-siapa disini. Ini Cuma perumahan yang
sepi.” Ucapku masih tak percaya.
“Hem, aku juga bingung. Seharusnya kita ada di tempat
ayahmu. Tapi kenapa kita ada di jalan sepi seperti ini. Biar kulihat sekitar
dulu.” Ucapnya bingung dan mulai melihat-melihat daerah sekitar. Aku pun ikut
melihat-lihat.
Dan tiba-tiba aku terpaku pada sebuah pemandangan yang
membuatku beku seketika. Disana. Ayahku. Dia ada disana. Di salah satu rumah
itu. Di rumah yang gordennya terbuka dan menampakkan semua pemandangan salah
satu ruangan di rumah tersebut. Dia ada disana. Tapi tidak sendirian. Ada
seorang wanita di sebelahnya yang sedang menertawakan sesuatu bersama ayahku.
Tapi yang jelas itu bukan ibuku. Siapa dia?
Belum terjawab pertanyaanku tentang siapa dia, satu
pertanyaan telah terjawab. Objek yang sedang mereka tertawakan ternyata adalah
seorang anak kecil yang sedang bernyanyi. Tanpa ditanya, mereka terlihat
seperti sebuah keluarga. Keluarga yang bahagia.
Dan tanpa sadar kakiku sudah bergerak ke arah rumah itu dan
tanganku mulai mengetuk pintunya saat sudah berada dalam jangkauan. Tak lama,
ayahku lah yang membukakan pintu itu. terlihat raut wajahnya yang kaget
melihatku.
“Ayah? Kenapa Ayah ada disini? Kenapa Ayah tidak pulang
kerumah? Ke rumah kita?” tanyaku sambil menahan tangis. Aku ingin mendengar
penjelasan ayahku.
“Sayang? Siapa yang bertamu?” ucap seseorang dari dalam
rumah yang sedang berjalan ke arah pintu sambil menggendong anak perempuan yang
tadi kulihat.
“Eh? Bukan. Bukan siapa-siapa.” Ucap ayahku.
“Apa? bukan siapa-siapa? Ayah! Ini aku. anak perempuanmu.”
Ucapku tak percaya dengan jawaban ayahku. Kulihat Perempuan itu menghampiriku.
“Sayang? Siapa anak perempuan ini? Kenapa tidak di ajak
masuk?” Tanya wanita itu.
“Dia..”
“Aku anaknya. Anda siapa?” tanyaku pada wanita itu.
“Anak? Apa dia anak dari mantan istrimu?” ucap wanita itu lagi.
Apa? ternyata dia tahu tentang aku?
“Aku, aku tidak pernah menganggapmu sebagai anakku.
Pergilah. Jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah lebih bahagia dengan keluargaku
yang baru.” ucap ayah yang terasa bagaikan sambaran petir di telingaku.
Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku sekarang. Hatiku
sudah cukup hancur dengan keadaan keluargaku yang memang sudah lama retak ini.
Tapi sekarang, aku tidak tahu lagi bagaimana hancurnya hatiku setelah tahu
bahwa ternyata ayahku sudah memiliki keluarga baru.
Aku bahkan tidak sadar sudah berjalan berapa lama atau
bagaimana aku bisa sampai di rumah sekarang. Aku juga baru menyadari bahwa Maria
tidak ada, entah sejak kapan. Saat memasuki rumah, ternyata ibuku ada di rumah.
Aku berpikir sejenak. Dan memutuskan untuk bertanya pada ibuku.
“Ibu?” panggilku.
“Ya? Oh? Kau sudah pulang? Darimana saja kau? Kenapa larut
sekali kau pulang? Apa kau sudah mulai menjadi anak nakal dan berkeliaran tidak
jelas seperti ayahmu, hah?” tuduh ibu.
“Ibu, apa ibu tahu kalau ayah sudah memiliki keluarga baru?”
tanyaku langsung. Membuat raut wajah ibu berubah seketika. Kaget.
“Darimana…”
“Tadi aku bertemu ayah. Dan, keluarga barunya. Ayah bahkan
tidak mengakuiku sebagai anaknya.”ucapku. keheningan tiba-tiba saja menyelimuti
kami.
“ Baguslah kalau kau sudah tahu.”ucap ibu memecah
keheningan.
“Eh?”
“Dengan begini, aku sudah tidak perlu berpura-pura lagi.
Sekarang aku sudah bisa benar-benar bebas dari lelaki bajingan itu.” ucap ibu
lagi.
“Apa maksud ibu? Kenapa ayah meniggalkan kita?”
“Kebanyakan laki-laki memang brengsek. Termasuk Ayahmu. Sudahlah.
Kau sudah tidak perlu mengingat ayahmu lagi.”
“Ayah pergi karena Ibu kan? Ibu sama saja seperti ayah. Ibu
selalu sibuk bekerja. Jarang ada di rumah, tidak pernah menghabiskan waktu
bersama-sama sebagai keluarga. Pantas saja ayah meninggalkan kita.” Ucapku
frustasi.
PLAK!
Pipiku berdenyut. Ibu menamparku dengan cukup keras.
“Jaga cara bicaramu! Aku tidak membesarkanmu untuk bicara
kurang ajar pada orangtuamu.” Bentak ibu tiba-tiba.
“Membesarkanku? Aku bahkan tidak ingat pernah menghabiskan
hari libur bersama ibu. Aku selalu sendirian. Tidak pernah ada yang peduli
padaku. Aku bahkan merasa seperti tidak punya keluarga disini.” Ucapku
mengeluarkan semua isi hatiku.
Tapi ibu hanya terdiam. Aku berjalan memasuki kamarku dan
mengunci pintunya rapat-rapat. Hal berikutnya, terdengar pintu depan tertutup
menandakan ibu pergi lagi. Aku hanya bisa menangis dibalik selimutku.
Sudah dua hari berlalu. Ibu tidak pernah pulang ke rumah.
Maria juga tidak pernah terlihat lagi. Entah perempuan itu memang seorang
malaikat atau hanya seorang penipu atau, entahlah. Aku tidak perduli. Akupun
kembali ke rutinitasku yang biasa. Sekolah dan berdiam diri dirumah. Dan
kemudian pergi ke sekolah lagi keesokan harinya.
“Rika. Kamu dipanggil pak guru.” Ucap salah seorang teman
sekelasku. Akupun beranjak dari kursiku dan mendatangi pak guru diruangannya.
“Permisi. Bapak memanggil saya?” Tanyaku saat wali kelasku
terlihat dibalik meja kerjanya.
“Ah, ya. Rika, pergilah ke rumah sakit. Tadi ada telepon
dari rumah sakit. Katanya ibumu mengalami kecelakaan.”
“Eh?!” bagaikan tersambar petir, aku langsung mengambil
langkah seribu. Menghambur keluar sekolah, memanggil taksi dan memintanya
mengantarku ke rumah sakit secepat mungkin.
Di rumah sakit, terlihat ibu yang dililit banyak perban.
Dokter bilang, ibuku mabuk dan berjalan sempoyongan menuju jalan raya. Dan saat
itu, ada mobil yang melaju kencang dan menabrak ibu.
“Ibu? Ibu, bangunlah. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa?
Kenapa tuhan jahat sekali memberikan cobaan padaku seberat ini? Kenapa?”
Tangisku mulai pecah melihat ibu yang terlihat sangat lemah dihadapanku. Dan
aku mulai terisak.
“Jangan menangis, Rika.” Ucap seseorang yang entah sejak
kapan sudah ada didepanku. Ternyata Maria.
“Ma..ria? kenapa? Kenapa kau ada disini? Sedang apa kau
disini? Kemana saja kau selama ini?” Tanyaku bertubi-tubi sambil mencoba
menghapus air mataku.
“Aku datang untuk membantumu.”ucapnya sambil tersenyum.
“Membantu?” tanyaku bingung.
“Iya. Lihatlah.” Ucapnya lagi sambil menunjuk kearah ibuku.
Ibuku, mulai membuka matanya!
”Ibu? Ibu?! Apa ibu sudah sadar? Ini aku, bu. Rika.”
“Ri..ka?” ucapnya lirih.
“Iya. Ini rika. Ibu, maafkan aku. maafkan sikapku selama
ini. aku menyayangi ibu. Sangat menyayangimu.”ucapku sambil menggenggam tangan
ibu.
“Rika, ibu juga ingin meminta maaf. Maafkan sikap ibu yang
selalu menelantarkanmu. Maafkan ibu yang sudah membuatmu sendirian. Membuatmu
kesepian. Maafkan ibu yang tidak pernah ada disampingmu. Maafkan ibu.”ucap ibu
lirih.
“Tidak. Ibu tidak salah.”ucapku masih tetap menggenggam
tangan ibu. Tapi tiba-tiba tangan itu melemas dan jatuh dari genggamanku
bersamaan dengan bunyi nyaring dari alat yang menyambung ketubuh ibu.
1 tahun kemudian….
“Rika, ayo pulang.” Panggil Vina, temanku.
“Kau pulang duluan saja. Aku ingin ke makam ibuku dulu.”
Ucapku menolak permintaan vina
“Begitukah? Baiklah. Sampai jumpa besok.”
Sudah satu tahun ibu meninggal. Dan sejak saat itu, awalnya
aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup. Aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Tapi, aku memutuskan untuk berubah. Aku tidak akan bergantung pada
orang lain. Aku akan mencoba membuka diri.
Pamanku-adik ibuku- mengadopsi aku. aku pindah sekolah. Dan
disekolah yang baru, aku mulai mendapat teman. Salah satunya vina.
“Apa kabar, bu? Sudah setahun ya.” Ucapku saat sudah sampai
didepan makam ibu.
“Bu, ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak sendirian lagi. Aku
tidak kesepian lagi. Aku sudah punya teman yang banyak dan mereka semua baik.
Paman dan bibi pun merawatku dengan baik. Hidupku baik-baik saja. Dan akan
tetap baik-baik saja. Jadi, ibu tidak perlu khawatir lagi.” Ceritaku panjang
lebar. Akupun belum melupakan perempuan itu, Maria. Perempuan yang mengaku-aku
seorang malaikat, perempuan yang memberikan keajaiban pada hidupku, perempuan
yang membuatku mulai berubah. Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Flashback..
Saat hari pemakaman
ibu, Maria datang dan mengucapkan duka citanya atas kematian ibuku.
“Rika, kau baik-baik
saja?” tanyanya saat menghampiriku yang sedang duduk di ayunan di halaman
belakang rumahku.
“Apa aku terlihat
baik-baik saja?” tanyaku balik.
“Rika, kau harus
berubah. Kau tidak bisa terus menutup diri seperti ini.”
“Kau tidak tahu
apa-apa tentangku. Bukankah justru semua ini terjadi karenamu? Sejak kau datang
kedalam hidupku, semuanya jadi berubah. Menjadi buruk.”
“Apa kau justru
menyukai dirimu yang dulu? Rika yang tidak pernah tersenyum, rika yang pendiam,
rika yang ridak punya teman? Rika yang selalu menutup diri?”
“Itu,..”
“Berubahlah. Untuk
kebaikanmu, demi ibumu. Tunjukkan pada ibumu kalau mulai sekarang hidupmu akan
baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Kau bisa memulai semuanya dari
awal. Berusahalah sebaik mungkin. Aku akan selalu memperhatikanmu.”
“kau tidak akan ada
disini lagi?” tanyaku. Dan maria hanya tersenyum melihat kearahku. Tiba-tiba
angin berhembus kencang. Dan saat aku membuka mataku, Maria sudah tidak ada.
Flashback end..
“Lihatlah, Maria. Aku sudah membuktikannya. Terimakasih,
malaikatku.”
fin
9SQUARE [Cerpen]
9SQUARE
(NINE SQUARE)
Adhi
menjulurkan kepala ke luar jendela taksi dan melihat pemandangan kota yang sudah
lama tidak dilihatnya. Adhi sedang menuju rumahnya setelah berlibur di jepang
selama beberapa minggu.
Sesampainya
di apartemen, Adhi langsung menghempaskan badannya ke tempat tidur. Dia sangat
lelah setelah perjalanannya dari Jepang sampai Jakarta. Saking lelahnya, tanpa
sadar Adhi pun tertidur.
“Kriiiing….Kring….,”Terdengar
dengan jelas bunyi handphone berdering. Satu kali, dua kali, tiga kali,
handphone itu dibiarkan berdering tanpa diangkat oleh Adhi. Akhirnya setelah
entah berapa kali handphone itu
berdering, Adhi pun menyerah dan mengangkat handphone nya.
“Akhirnya
kau jawab juga teleponku. Aku sudah mencoba menghubungimu dari beberapa jam
yang lalu.” Bentak seseorang di seberang telepon.
Kata-kata
itu menerjang telinga Adhi bahkan sebelum Ia sempat berkata “Hallo”. Adhi bahkan
belum sempat menempelkan handphonenya
di telinganya. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Adhi tertawa dan
berkata, “Fatkul sahabatku, aku tahu kau rindu padaku, tapi kau tidak perlu
berteriak dan membuat semua orang yang mendengar salah paham mengira kita ini
pacaran atau semacamnya.”
Fatkhul
tertawa hambar. “Lucu sekali.”
Adhi
berdiri manghadap jendela dan melihat ke luar apartemennya yang berada di
lantai 13. Terlihat langit sudah gelap. Hari sudah malam. Entah berapa jam Ia
sudah tertidur.
“Sebenarnya
aku tahu kau meneleponku,” sahut Adhi ringan. “Dan aku minta maaf tidak
menjawab teleponmu. Aku sangat lelah setelah sampai di sini. Dan aku tidak
ingin waktu istirahatku diganggu.”
“Ah, itu
yang ingin aku tanyakan. Apa kau sudah tiba di Indonesia? Kapan kau tiba?”
“Tadi
siang. Entah jam berapa aku tiba. Aku tidak melihat jam.” Sahut Adhi.
“Kenapa
kau tidak menghubungiku? Padahal kalau kau menghubungiku, aku akan menjemputmu
di bandara. Oh ya, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja? Kau sudah baikan? Kau
sudah tenang? Kau pergi ke Jepang selama ini untuk menghindar dari Putri kan?”
sergah Fatkul.
Adhi tertawa.
“Berapa banyak pertanyaan yang akan kau lontarkan kepadaku? Kau terlalu
menghawatirkanku. Sekarang kau malah jadi terdengar seperti Ibuku. Aku
baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
Fatkul
malah terkekeh. “Hehe… ah, besok kau akan datang ke kantor?”
“Ya.”
Sahut Adhi ringan. Setelah menutup telepon, Adhi menghempaskan kembali tubuhnya
di sofa yang menghadap ke jendela. Sofa itu adalah tempat favorit Adhi di
saat-saat seperti ini. Apalagi saat malam hari. Pemandangan langit malam terlihat
jelas dari sini.
Besoknya…
Adhi
melangkah keluar dari apartemennya, menuruni lift dan keluar dari gedung
apartemennya menuju mobilnya yang sudah lama tidak Ia kendarai karena Ia
meninggalkannya selama Ia pergi ke Jepang.
Adhi
mengeluarkan I-pod dan memasang earphone
ke telinga dan mulai mengendarai mobilnya menuju kantornya.
Adhi
bekerja di perusahaan percetakan majalah. Bersama sahabatnya, Fatkul, yang
sudah dikenalnya sejak SMA, sudah 2 tahun mereka bekerja disana.
Ketika
Adhi tiba di kantornya, Ia disambut dengan cukup meriah oleh teman-temannya.
Adhi termasuk salah satu karyawan yang terkenal di antara semua karyawan di
perusahaan itu. Bagaimana tidak, Adhi cukup gagah, masih muda, dan berprestasi
di dalam pekerjaannya.
Dari
belakang, seseorang menepuk pundaknya. Ternyata itu Fatkul.
“Yoo…
selamat pagi, sayangku.” Mendengar salam dari Fatkul, Adhi langsung merinding.
“Menjijikan.
Hanya satu kata itu saja yang dapat kukatakan untuk menjawab salammu.”
“Iih, baby jahat!” gurau Fatkul dengan nada
manja.
Saat
makan siang, Seperti biasanya, Adhi dan Fatkul bagaikan amplop dan perangko
yang tak terpisahkan. Mereka berdua makan bersama di seebuah rumah makan di
dekat kantor mereka.
Fatkul
makan sambil mengoceh panjang lebar tentang hal-hal mistis. Itulah hobinya.
Fatkul sangat tertarik terhadap semua yang berhubungan dengan hal-hal gaib.
Adhi yang sama sekali tidak tertarik dengan hal tersebut hanya diam entah
mendengarkan ocehan Fatkul atau tidak.
“Eh..eh..
kau itu sebenarnya mendengarkanku tidak? Cerita ini sangat menarik dan nyata.
Ah, dan begitu populer selama kau berada di Jepang. Kau ingin mendengar
ceritanya?” Tanya Fatkul pada Adhi. Dan tanpa menunggu jawaban dari Adhi,
Fatkul tetap meneruskan ceritanya.
“Begini.
Kau sudah tahu ada supermarket baru yang bernama 9Square kan? Konon, di akhir
pembangunan supermarket tersebut, ada orang yang dijadikan tumbal. Aku tidak
tahu orang yang dijadikan tumbal itu siapa atau seperti apa orangnya. Entah
laki-laki atau perempuan. Atau bisa saja anak-anak.”
Tiba-tiba
Adhi menyela “Memangnya apa urusanmu sampai harus tahu siapa orang yang
dijadikan tumbal? Lagipula itu cuma cerita khayalan buatan orang-orang untuk
mencari sensasi saja, kan? Zaman sudah canggih. Hal yang seperti itu sudah
bukan zamannya lagi. Sama sekali tidak masuk akal.”
“ Kau
masih tetap dingin seperti biasa.” Fatkul sudah terbiasa dengan sikap Adhi yang
dingin itu. “Orang sepertimu harus berhati-hati,” lanjut Fatkul. “sesuatu yang
gaib memang ada. Dan jangan sampai kamu takabur. Nanti kamu ketulah, lho!”
Adhi
hanya tertawa mendengar nasehat dari Fatkul yang menurutnya aneh. Fatkul
memotong tawa Adhi dan mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya.
Minggu depan kan ulang tahunmu. Bagaimana kalau kita rayakan ulang tahunmu di
rumahku? Kita adakan acara di taman belakang rumahku. Garden party. Bagaimana?”
“Hm..
terserah kamu sajalah.”
“Brr…dinginnya
sikapmu”. Canda Fatkul dengan gaya seakan kedinginan.
Seminggu
kemudian…
Hari
menjelang tengah malam. Tapi semangat Adhi dan teman-temannya yang membantu
mendekor taman tak terlihat kendur. Adhi mengeluarkan kopi hangat lagi dari
dapur rumah Fatkul yang sudah seperti rumah sendiri sebelum mereka mengeluh
kantuk. Ia juga mengeluarkan kue kering yang sebenarnya akan menjadi hidangan
besok siang.
“Ngopi
dulu!” Adhi mengangsurkan secangkir kopi kepada Fatkul yang terlihat paling
sibuk mendekorasi panggung kecil. “kau terlalu bersemangat. Ini kan cuma ulang
tahun biasa. Kau tidak perlu terlalu serius. Lagipula, apa-apaan dekorasi ini.
Seperti untuk anak umur 17 tahun saja.”
“Tidak
apa-apa kan. Lagipula kita juga belum tua kok. 23 tahun itu masih sangat muda
tahu.”
Adhi
hanya tertawa hambar mendegar ungkapan Fatkul barusan. “jangan sampai kau sakit
karena terlalu bersemangat. Setidaknya pakailah bajumu agar kau tidak masuk
angin besok.”
Fatkul
bertelanjang dada. Ia tak peduli dengan hembusan angin malam. Ia merasa gerah. Ada
Barrie yang telah selesai dengan pot-pot bunga yang mengelilingi meja untuk
tempat kue tart. Dino bertugas mengatur meja dan kursi. Deri dan henry sibuk
dengan sound system.
“Kamu
punya kabel lima meteran?” teriak Henry.
Adhi
mendekat. “Enggak ada. Buat apa?”
“Kita
butuh kabel untuk speaker yang akan
ditaruh di sana. Yang ini kurang panjang.” Ungkap Henry sambil menunjuk ke arah
panggung yang sedang didekor oleh Fatkul. Rencananya, panggung itu akan dibuat
sebagai tempat untuk grup band yang mereka sewa untuk tampil memeriahkan acara.
Benar-benar acara untuk anak umur 17-an. Tapi karena Fatkul sangat bersemangat
mengadakan acara ini, Adhi membiarkannya.
“Besok saja.”
Teriak Fatkul. “aku bisa membelinya pagi-pagi.”
“Aku
akan membelinya.” Kata Adhi tanpa berpikir panjang. Mungkin sebagai ungkapan rasa
terima kasihnya kepada sahabatnya, setidaknya Adhi ingin membantu lebih untuk
sahabatnya itu.
“Tengah
malam begini?” Fatkul melotot.
“Kenapa tidak?
9Square buka 24 jam. Aku akan ke sana untuk membeli kabel.”
Henry
menatap Adhi. “Kamu berani ke sana tengah malam begini?”
“siapa
takut?” tantang Adhi
“Tapi
cerita-cerita itu…?”
Adhi
tersenyum. “Ah, isapan jempol.” Memang, setelah Fatkul bercerita sedikit
tentang 9Square yang mengambil tumbal seminggu yang lalu, banyak cerita lain
kelanjutan dari cerita Fatkul. Sering terjadi peristiwa aneh serta penampakan
makhluk mengerikan dalam waktu seminggu ini.
Salah
satu contohnya, ada yang mengaku ada seorang wanita memakai gaun serba putih
dan berambut panjang yang ingin menumpang di mobil yang sedang melintas di
depan supermarket itu. Dan setelah wanita itu telah naik ke mobil, wanita itu
menghilang tiba-tiba di dalam mobil.
Atau, ada
cerita lain. Ada yang melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang
mengganggu mobil pengunjung yang datang ke supermarket itu. Gangguannya pun
berbeda-beda. Ada yang tiba-tiba dihadang saat akan keluar dari supermarket itu
dan bermacam-macam cerita lainnya.
Tapi,
Adhi berkeras untuk berangkat sendiri tanpa ditemani.
Pukul
00.30 Adhi tiba di supermarket serba ada 9Square. Supermarket itu tampak sepi.
Suasana di sekitarnya juga demikian. Mungkin karena sekarang sudah bukan jam
yang tepat untuk berbelanja, kecuali mereka yang membutuhkan sesuatu yang
sifatnya mendesak dan darurat.
Di area
parkir hanya ada dua mobil. Ketika mobilnya telah terparkir, Adhi segera keluar
dari mobilnya. Tiba-tiba bunyi keras membuatnya kaget. Adhi seakan terpaku di
tempat. Tubuhnya tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas.
Dengan mata terbelalak Adhi menatap bayangan itu membetulkan letak…. Tong
sampah?
Adhi
mengumpat karena kaget. Ternyata suara yang membuat kaget itu berasal dari
petugas parkir yang menabrak dan menjatuhkan sebuah tong sampah di ujung tempat
parkir itu. Seketika Adhi teringat bahwa dompetnya tertinggal di dalam mobil.
Adhi kembali masuk dan menutup pintu mobil sambil mencari-cari dompetnya.
Tiba-tiba sebuah ketukan keras dari kaca mobilnya mengejutkan Adhi.
“Karcisnya.”
Adhi
menurunkan kaca mobil dan menerima sobekan karcis yang diangsurkan petugas
parkir itu. Adhi sempat bingung. Sesaat barusan Ia melihat petugas parkir itu
berada di ujung tempat parkir itu dan menabrak tong sampah. Namun, tiba-tiba
saja petugas parkir tersebut sudah berada di samping mobilnya. Belum sempat
berpikir lebih jauh, Adhi kembali kaget. Petugas parkir itu mengenakan seragam
serba hitam seperti jas hujan. Mungkin tadi hujan di sekitar sini, batin Adhi
untuk menenangkan diri.
Setelah
keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk. Adhi merasakan sesuatu yang
ganjil dan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh sekali lagi ke arah petugas
parkir itu yang berdiri di bawah cahaya lampu. Tubuhnya tinggi besar. Jubah
yang dikenakannya mengingatkan Adhi tentang penggali kubur seperti yang ada di
film-film horor.
Sesuatu
di bawah jubah itu bersinar berwarna merah. Matanya? Bersinar? Adhi setengah
berlari memasuki toko. Ia menyempatkan diri melihat ke arah petugas parkir itu.
Petugas parkir itu memakai kacamata dan cahaya itu adalah efek pantulan sinar
lampu yang mengenai kacamata itu. Batin Adhi mencari alasan.
Adhi
meredakan jantungnya. Dengan langkah cepat Ia menuju daerah tempat peralatan
listrik. Tempat itu benar-benar sepi. Tak ada pembeli selain dirinya. Petugas
pun tak terlihat. Hanya ada seorang wanita yang duduk terkantuk-kantuk di
belakang meja kasir.
Adhi langsung mengambil kabel sepanjang 10 meter
yang telah terbungkus rapi. Adhi tidak ingin pusing-pusing mencari kabel
sepanjang 5 meter seperti yang dibutuhkan oleh teman-temannya karena Ia merasa
harus secepatnya pergi dari tempat itu. Dari tadi perasaannya tidak enak. Adhi
gugup. Ia tidak sengaja menyenggol dan menjatuhkan beberapa barang yang
menimbulkan suara berisik.
Adhi
menoleh kearah wanita di balik meja kasir yang seperti tersentak akibat suara
berisik. Adhi tersentak dan kabel ditangannya nyaris jatuh. Ia tidak percaya
dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.
Wanita
itu berdiri kaku. Wajahnya pucat mayat dengan mata putih. Ia menjulurkan
lidahnya yang memanjang seperti ular. Matanya putih semua? Adhi menggoyangkan
kepalanya untuk mengusir pikiran hantu. Adhi menoleh kearah perempuan itu
dengan lebih teliti. Namun yang Ia dapati adalah wanita itu telah tertidur
kembali diatas meja kasirnya.
Adhi
segera berjongkok memunguti benda-benda yang Ia jatuhkan tadi. Ia menemukan
cairan merah menggenang di lantai. Adhi menyentuh cairan merah itu. Dia
menciumnya. Baunya amis.
Darah!?
Adhi
mengeluarkan jeritan dan berjalan menjauh. Namun, anehnya cairan itu bergerak
mengikuti langkah Adhi. Adhi berlari menuju meja kasir. Darah itu bergerak
semakin melebar seperti mengejarnya.
Adhi
tiba di meja kasir dan melemparkan kabel itu keatas meja. Perempuan yang
tertidur itu tersentak. Matanya yang putih tanpa kornea itu melotot. Mulutnya
yang terbuka memperlihatkan taring yang sepertinya tajam. Batin Adhi hanya
berkata : LARI!
Adhi
lari tunggang langgang meninggalkan toko itu. Sampai di dekat pintu, Ia
dihadang oleh sosok serba hitam persis di tengah tengah-tengah pintu. Dengan
penuh keberanian, Ia menerobos sosok serba hitam. Adhi tidak merasakan bahwa Ia
menabrak sesuatu.
Rasa
takut mengalahkan rasa bingung Adhi dengan apa yang baru saja terjadi. Adhi
langsung lari kearah mobil. Ia telah mencapai mobil dan dengan tangan gemetaran
Adhi membuka mobil dan langsung masuk serta mengunci mobilnya.
Tapi
sebelum Ia berhasil menghidupkan mesin mobil, matanya terpaku kedepan persis
didepan mobilnya. Hantu berpakaian serba hitam itu berdiri dengan tangan yang
terentang. Hantu itu menerbangkan mobil Adhi dan membantingnya, menimbulkan
guncangan yang luar biasa.
Gelap.~~
Gedoran
berulang kali di kiri dan kanan. Susah payah Adhi membuka matanya. Terdengar suara-suara
yang amat dikenalnya.
“Buka
pintunya. Adhi! Buka!”
Iwan
yang menggedor kaca depan mobilnya. Menoleh ke kanan, dilihatnya Fatkul
berteriak-teriak dengan wajah cemas. Seluruh kesadaran Adhi telah kembali. Dibukanya
pintu kanan mobil dan seketika Ia merasakan udara segar memasuki paru-parunya.
“Kamu
kenapa? Kami mencemaskan kamu! Tiga jam belum juga kembali!” Tanya Fatkul
dengan wajah cemas.
“Aku..Aku…”
Adhi menatap ke sekeliling seperti mencari-cari sesuatu. Dimana hantu petugas parkir
itu? Tak ada. “dimana?” Tanya Adhi seperti orang linglung.
“Kamu
ini!” Henry memukul kepala Adhi dengan kesal. “Kami mencemaskan kamu dan
terpaksa menyusul kemari. Nggak tahunya kamu malah tidur di dalam mobil!”
“Tidur?”
Adhi masih melongo.
“Kamu
memang kelewatan, Dhi! Kami bersusah-payah bantu-bantu, kamu malah ngungsi dan
tidur disini. Mana kaca-kacanya tertutup rapat-rapat. Kamu bisa mati didalam
mobil karena kehabisan oksigen, tahu!” Bentak Barrie.
Adhi
turun dari mobil. Diedarkan kembali pandangan ke setiap sudut area parkir yang
sunyi. Rupanya hari hampir pagi dan matahari sudah mulai terbit.
“Mana
kabel yang kamu beli? Dapat tidak?” Tanya Fatkul.
“Kabel?”
Adhi mengangkat tangannya yaqng kosong lalu meneliti ke dalam mobil. “Dimana
kabelnya? Oh?! Tertinggal di meja kasir? Di mejanya perempuan bertaring itu!”
“Huh!”
Deri mendorong tubuh Adhi dengan kesal. “Kamu memang kesini cuma untuk ngungsi
tidur! Kelewatan!”
Deri berjalan
kearah pintu masuk 9Square diikuti Henry, Iwan, dan Barrie.
“Ayo”
ajak Fatkul sambil mengangsurkan tangan. Adhi berjalan mengikuti Fatkul. Adhi
masih kebingungan. Benarkah Aku hanya tertidur didalam mobil dan mengalami
mimpi buruk?
Adhi
mengangkat tangan dan Ia melihat ada bercak di jarinya yang kini telah mengering
dan berubah menjadi hitam. Bercak apa ini? Dengan bingung Adhi mencoba
mengingat dan menduga-duga asal bercak berwarna hitam ini.
Seketika
Adhi teringat dengan kejadian yang baru saja dialaminya saat Ia menyentuh
cairan merah yang ternyata darah. Sekarang darah itu telah mengering dan
berubah warna menjadi hitam dan berbekas di tangannya.
Saat
sadar, dilihatnya hantu berpakaian serba hitam dengan mata merah menyala sedang
memperhatikannya di kejauhan tempat parkir itu.
Adhi
menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya dan jatuh pingsan.
Langganan:
Postingan (Atom)