CERITA RIKA
Disaat seperti ini, merupakan suasana yang bagus jika
digunakan untuk bersantai. Membaca buku sembari menyesap secangkir teh hangat
dan duduk dikursi dibalkon kamar yang menghadap ke taman belakang, diterpa
angin dingin yang mulai berhembus menandakan musim panas akan segera berakhir
sampai bulan benar-benar menunjukkan senyumnya.
Tapi kenyataan berbanding terbalik. Bukan ketenangan seperti
yang kuharapkan yang kudapat, tetapi suara-suara yang saling mencaci-maki satu
sama lainlah yang masuk kedalam gendang telinga. Bagaikan barang rongsokan yang
sudah tak terpakai lagi, perabotan saling dijatuhkan dengan sengaja.
Aku hanya bisa mendengar, meringkuk dibalik selimut dan
memeluk tuan beruang dengan erat. Bagaikan anak kecil yang takut petir saat
hujan deras, aku bersembunyi berharap suara-suara itu akan segera hilang. Ini
bahkan lebih menakutkan dari petir saat hujan deras. Mereka saling melontarkan
kata-kata kasar satu sama lain. menumpahkan segala sumpah serapah yang akan
diakhiri dengan bantingan pintu depan yang menandakan salah satu dari mereka
telah pergi.
Tapi ini bukan akhir dari perang. Mereka akan mengulangi
pertengkaran seperti hari ini lagi saat mereka bertemu lagi nanti. Bertengkar
lagi, membanting semua barang yang ada disekitarnya dan akan diakhiri dengan
bantingan pintu. Lagi. Selalu seperti itu.
Dan yang bisa aku
lakukan hanya bersembunyi dikamar seperti anak kecil dan meringkuk dibalik
selimut. Lagi. Tak ada yang bisa kulakukan. Bukan berarti belum pernah kucoba.
Tapi semua itu sia-sia.
“ibu? Apa ibu baik-baik saja?” tanyaku saat aku mencoba
keluar kamar. Melihat siapa yang pergi dan siapa yang ditinggalkan.
“jangan ikut campur urusan orang tua. Yang perlu kau lakukan
adalah belajar. Tidak perlu pikirkan hal lain lagi.” Jawab ibu sembari pergi entah
kemana. Lagi. Selalu seperti ini. Bagi mereka, rumah hanyalah tempat untuk
mereka saling mencaci-maki. Setelah itu, mereka akan pergi entah kemana tanpa
pulang selama beberapa hari. Meninggalkan aku sendirian dirumah. Dan saat
mereka kembali ke rumah, mereka akan mengulangi pertengkaran yang sama dan
kemudian pergi lagi.
Pertengkaran sudah bukan lagi hal yang asing di keluarga
ini. Keluarga? Apa ini bisa disebut sebagai keluaga? Apa ini yang namanya
keluarga? Aku sendirian di dunia ini. Itu kenyataannya. Dan aku benci kenyataan
ini. Aku benci keluarga ini. Aku benci dunia ini. Aku benci hidup ini. Dan aku
lebih benci lagi pada diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Di sekolahpun aku tidak punya teman. Dulu pernah ada. Tapi
mereka semua meniggalkan aku karena latar belakang keluargaku yang berantakan.
Mereka sama jahatnya dengan orangtuaku. Mereka meninggalkan aku disaat aku
membutuhkan mereka.
Tapi sekarang aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Kalau
mereka tidak membutuhkan aku, maka aku juga tidak membutuhkan mereka. Aku bisa
melakukan semuanya sendirian. Akan kubuktikan pada mereka semua kalau meskipun
tanpa mereka, aku masih bisa hidup meskipun aku enggan.
Hari ini pun sekolah seperti biasa. Belajar, setelah itu
pulang ke rumah. Saat pulang pun, aku tidak perlu mengucapkan “aku pulang”
karena aku tahu tidak akan ada siapa-siapa yang menyambutku.
“seharusnya kau mengatakan `aku pulang` saat memasuki rumah,
bukan?” ucap seseorang yang membuatku kaget saat aku memasuki rumah.
“si..siapa kau?!” tanyaku kaget melihat seorang perempuan
yang tidak kukenal. melihat penampilan dan wajahnya, kupikir umurnya tidak jauh
beda denganku atau seumuran denganku.
“aku? perkenalkan, namaku Maria. aku adalah seorang malaikat.
Aku datang dari surga untuk menyemangati Rika. Aku akan mengembalikan senyuman
Rika yang manis seperti dulu lagi.” Ucapnya dengan nada riang.
“Haahh?!!” menyemangatiku? Untuk apa? siapa sebenarnya orang
aneh ini? Penguntit? Kenapa ada dirumahku?. Pikirku dalam hati.
“Dari surga aku melihat kau selalu sedih dan terpuruk karena
masalah dalam keluargamu. Dan aku tidak bisa tinggal diam dan melihatnya begitu
saja. Karena itu aku datang untuk membantumu...”
“hentikan!! Jangan bercanda. Sama sekali tidak lucu. Apa
maumu? Kau itu siapa? Aku tidak butuh bantuanmu sama sekali. keluar dari
rumahku sekarang juga.” Bentakku.
“ah, tapi rika..”
BRAK! Kubanting pintu kamarku dan menguncinya. Apa-apaan
dia? Mengembalikan senyumanku? Mustahil. Aku sudah menutup rapat-rapat hatiku
untuk orang lain. dan sudah lama pula aku tidak tersenyum. Bahkan mungkin aku
sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.
Krieet…
“Sepi sekali. sepertinya orang aneh itu sudah pergi.” Ucapku
saat keluar kamar. Perutku sudah mulai berteriak meminta diisi. Kubuka pintu
lemari es dan hanya menemukan beberapa botol berisi air putih. Tidak ada
makanan.
“Hhh.. sepertinya aku harus ke supermarket.”
Baru aku akan keluar rumah, pintu depan tiba-tiba terbuka.
Aku kaget mengira ayah atau ibuku pulang. Tumben sekali. padahal ini masih
sore.
“Rika. Bisa bantu aku membawa barang belanjaan ini masuk?”
ucap seseorang yang sedang berusaha membuka pintu dengan mendorongnya
menggunakan kaki.
“Huh? Kau? Kenapa kau masih ada disini?” tanyaku saat
melihat ternyata orang yang datang bukanlah ayah atau ibuku melainkan perempuan
aneh yang mengaku-aku seorang malaikat.
“Bertanya nanti saja. Sekarang bantu aku memasukkan barang
belanjaan ini kedalam. Aku membeli banyak barang” ucapnya sambil menunjuk
kearah tiga kantung plastik yang ada ditangannya.
“Kenapa kau berbelanja sebanyak ini? Untuk apa?” tanyaku
sambil membantunya menaruh kantong belanja tersebut diatas meja.
“Aku melihat isi kulkasmu. Tidak ada apa-apa. karena itu aku
belanja untuk keperluan kita sehari-hari.” Ucapnya dengan senyum manis
diwajahnya.
“Kau tidak perlu bersusah payah berbelanja. Aku bisa membeli
makanan cepat saji. Dan apa maksudmu dengan keperluan kita?”
“Tentu saja maksudku keperluan kita berdua sehari-hari. Aku
kan akan tinggal disini mulai sekarang.” ucapnya santai.
“Apa?! apa maksudmu tinggal disini bersamaku? Bagaimana
kalau orangtuaku tahu? Mereka bisa marah besar padaku.”
“Tidak akan terjadi apa-apa. percayalah padaku. Aku bisa
mengatasinya.” Ucapnya menenangkan. “Daripada berdebat sekarang, lebih baik
kita makan. Aku sudah lapar. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu.” Ucapnya
lagi.
Dan aku tidak bisa mendebatnya sekarang karena aku merasakan
perutku mulai berbunyi menandakan aku sangat lapar. Maria benar-benar memasak
makanan. Dan makanan yang dibuatnya benar-benar enak. Ini pertama kalinya dalam
beberapa tahun aku merasakan masakan buatan seseorang. Dan ini membuatku
terharu.
“Bagaimana rasanya?”
“Ehm, enak.” Ucapku singkat. Aku terlalu gengsi untuk
mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Dan maria hanya tersenyum saja
melihat reaksiku.
“Baiklah. Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan?”
ajak maria saat dia telah selesai mencuci piring yang kami pakai untuk makan
tadi.
“Jalan-jalan?”
“Iya. Ke taman bermain mungkin? Atau shoping? Kau maunya kemana? Aku ingin mengajakmu pergi ke tempat
yang kau sukai.”
“Percuma saja. Tidak perlu.” Ucapku ketus.
“Kenapa kau tidak mau bersenang-senang? Apa salahnya kau
bersenang-senang? Daripada kau terus terpuruk dengan keadaan keluargamu, lebih
baik kau lupakan semua masalahmu dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Kau tidak
bisa terus-terusan seperti ini.”
“Jangan ikut campur urusanku.” Bentakku.
“Ugh. Kau keras kepala sekali. kalau kau tidak mau, maka aku
akan menggunakan cara paksa.” Ucapnya.
“Ehh?”
Tiba-tiba dia menarik lenganku dan membawaku keluar rumah.
Terus menyeretku menaiki bus sampai kami tiba di taman bermain.
“Kau ternyata tipe orang yang suka memaksa ya?” Ucapku
menyindir saat kami tiba di taman bermain. Sedangkan yang ditanya hanya
tersenyum.
“Hmm.. kita mulai naik wahana apa ya?”ucapnya bersemangat.
“ah, kita mulai dari itu.” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu dan mulai
menarik lenganku lahgi. Dan ternyata wahana yang dimaksud adalah rumah hantu.
“tu..tunggu. aku tidak mau. Aku takut dengan wahana-wahana
yang menyeramkan seperti ini.” Ucapku ketakutan. Jujur saja, aku sangat takut
dengan hal-hal menyeramkan seperti ini. Tapi sepertinya protesku tak dihiraukan
oleh Maria. Dia tetap menarikku memasuki wahana rumah hantu. Dan tidak berhenti
sampai disitu. Dalam ingatanku, setelah rumah hantu, wahana yang kami naiki
adalah roller coster. Setelah itu
kami menaiki beberapa wahana lagi yang sama-sama menguji adrenalin. Perempuan
ini benar-benar memiliki selera yang mengerikan rupanya, pikirku.
“Haa.. senangnya. Selanjutnya kita naik wahana apa, ya?”
ucap Maria riang setelah kami baru saja menaiki wahana yang bernama tornado.
“Tung.. tunggu dulu. Bisakah kita istirahat dulu? Apa kau
tidak lelah?” cegahku sebelum aku kembali ditarik untuk menaiki wahana lain
yang sudah bisa ditebak pastilah wahana yang menakutkan.
“Kau sudah lelah? Hm, baiklah. Ayo kita duduk dulu di kursi
itu.” ucapnya sambil menunjuk sebuah kursi panjang di bawah pohon.
“Ini. Minumlah.” Tawar maria padaku sambil menyerahkan
sekaleng minuman dingin yang baru saja dibelinya.
“Ah, terima kasih.” Ucapku sembari menerima kaleng dingin
tersebut.
“Bagaimana? Apa kau bersenang-senang hari ini?” tanyanya.
“Bersenang-senang?” ucapku tak percaya. “wahana yang kita
naiki hanya wahana yang mengerikan dan menegangkan. Bagaimana aku bisa
bersenang-senang?”
“Kau tidak suka? Padahal menurutku tadi itu sangat
menyenangkan.” Ucapnya dengan tampang tak berdosa.
“Hanya kau saja yang bersenang-senang. Aku sama sekali tidak
senang. Seperti anak kecil saja.”
“Kau ini. Tidak sopan sekali pada malaikat.”
“Mana ada malaikat seperti itu? jangan bercanda.”
“Haha. Ternyata kau masih tidak percaya ya? Bagaimana
caranya agar kau bisa percaya padaku?” ucapnya menantang.
“Ha? Kau serius? Kalau begitu, bawa aku ketempat ayahku. Aku
ingin bertemu dengannya. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya.” Ucapku menantang
balik. Tentu saja aku yakin maria tidak akan bisa melakukannya. Aku saja tidak
tahu dimana ayahku berada sekarang.
“Baiklah. Sekarang, tutup matamu.” Ucapnya dengan raut wajah
serius.
“Eh? Menutup mata?” astaga. Jangan bilang kalau perempuan
ini benar-benar sudah gila. Atau, jangan-jangan dia benar-benar bisa menemukan
ayahku?
“Sudahah. Tutup saja matamu dan percayalah padaku.” Ucapnya
lagi meyakinkan. Dan anehnya, aku menuruti saja permintaannya.
“Satu, dua, tiga… empat! Nah, bukalah matamu.” Ucap maria.
Dan sesuai perintahnya, aku membuka mataku dan melihat pemandangan asing
disekelilingku.
Aku terkejut setengah mati dengan apa yang baru saja
terjadi. Beberapa detik yang lalu kami masih duduk dikursi di taman bermain.
Dan lihat sekarang. kami ada dimana? Yang jelas ini bukan Taman bermain. Ini,
jalan disebuah perumahan sepertinya.
“A…apa yang baru saja terjadi?” tanyaku gelagapan.
“Sekarang kau percaya padaku?” ucapnya dengan senyum
kemenangan diwajahnya.
“Tidak. Lagipula, aku bilang aku ingin menemui ayahku. Dan
dimana kita sekarang? aku tidak melihat siapa-siapa disini. Ini Cuma perumahan yang
sepi.” Ucapku masih tak percaya.
“Hem, aku juga bingung. Seharusnya kita ada di tempat
ayahmu. Tapi kenapa kita ada di jalan sepi seperti ini. Biar kulihat sekitar
dulu.” Ucapnya bingung dan mulai melihat-melihat daerah sekitar. Aku pun ikut
melihat-lihat.
Dan tiba-tiba aku terpaku pada sebuah pemandangan yang
membuatku beku seketika. Disana. Ayahku. Dia ada disana. Di salah satu rumah
itu. Di rumah yang gordennya terbuka dan menampakkan semua pemandangan salah
satu ruangan di rumah tersebut. Dia ada disana. Tapi tidak sendirian. Ada
seorang wanita di sebelahnya yang sedang menertawakan sesuatu bersama ayahku.
Tapi yang jelas itu bukan ibuku. Siapa dia?
Belum terjawab pertanyaanku tentang siapa dia, satu
pertanyaan telah terjawab. Objek yang sedang mereka tertawakan ternyata adalah
seorang anak kecil yang sedang bernyanyi. Tanpa ditanya, mereka terlihat
seperti sebuah keluarga. Keluarga yang bahagia.
Dan tanpa sadar kakiku sudah bergerak ke arah rumah itu dan
tanganku mulai mengetuk pintunya saat sudah berada dalam jangkauan. Tak lama,
ayahku lah yang membukakan pintu itu. terlihat raut wajahnya yang kaget
melihatku.
“Ayah? Kenapa Ayah ada disini? Kenapa Ayah tidak pulang
kerumah? Ke rumah kita?” tanyaku sambil menahan tangis. Aku ingin mendengar
penjelasan ayahku.
“Sayang? Siapa yang bertamu?” ucap seseorang dari dalam
rumah yang sedang berjalan ke arah pintu sambil menggendong anak perempuan yang
tadi kulihat.
“Eh? Bukan. Bukan siapa-siapa.” Ucap ayahku.
“Apa? bukan siapa-siapa? Ayah! Ini aku. anak perempuanmu.”
Ucapku tak percaya dengan jawaban ayahku. Kulihat Perempuan itu menghampiriku.
“Sayang? Siapa anak perempuan ini? Kenapa tidak di ajak
masuk?” Tanya wanita itu.
“Dia..”
“Aku anaknya. Anda siapa?” tanyaku pada wanita itu.
“Anak? Apa dia anak dari mantan istrimu?” ucap wanita itu lagi.
Apa? ternyata dia tahu tentang aku?
“Aku, aku tidak pernah menganggapmu sebagai anakku.
Pergilah. Jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah lebih bahagia dengan keluargaku
yang baru.” ucap ayah yang terasa bagaikan sambaran petir di telingaku.
Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku sekarang. Hatiku
sudah cukup hancur dengan keadaan keluargaku yang memang sudah lama retak ini.
Tapi sekarang, aku tidak tahu lagi bagaimana hancurnya hatiku setelah tahu
bahwa ternyata ayahku sudah memiliki keluarga baru.
Aku bahkan tidak sadar sudah berjalan berapa lama atau
bagaimana aku bisa sampai di rumah sekarang. Aku juga baru menyadari bahwa Maria
tidak ada, entah sejak kapan. Saat memasuki rumah, ternyata ibuku ada di rumah.
Aku berpikir sejenak. Dan memutuskan untuk bertanya pada ibuku.
“Ibu?” panggilku.
“Ya? Oh? Kau sudah pulang? Darimana saja kau? Kenapa larut
sekali kau pulang? Apa kau sudah mulai menjadi anak nakal dan berkeliaran tidak
jelas seperti ayahmu, hah?” tuduh ibu.
“Ibu, apa ibu tahu kalau ayah sudah memiliki keluarga baru?”
tanyaku langsung. Membuat raut wajah ibu berubah seketika. Kaget.
“Darimana…”
“Tadi aku bertemu ayah. Dan, keluarga barunya. Ayah bahkan
tidak mengakuiku sebagai anaknya.”ucapku. keheningan tiba-tiba saja menyelimuti
kami.
“ Baguslah kalau kau sudah tahu.”ucap ibu memecah
keheningan.
“Eh?”
“Dengan begini, aku sudah tidak perlu berpura-pura lagi.
Sekarang aku sudah bisa benar-benar bebas dari lelaki bajingan itu.” ucap ibu
lagi.
“Apa maksud ibu? Kenapa ayah meniggalkan kita?”
“Kebanyakan laki-laki memang brengsek. Termasuk Ayahmu. Sudahlah.
Kau sudah tidak perlu mengingat ayahmu lagi.”
“Ayah pergi karena Ibu kan? Ibu sama saja seperti ayah. Ibu
selalu sibuk bekerja. Jarang ada di rumah, tidak pernah menghabiskan waktu
bersama-sama sebagai keluarga. Pantas saja ayah meninggalkan kita.” Ucapku
frustasi.
PLAK!
Pipiku berdenyut. Ibu menamparku dengan cukup keras.
“Jaga cara bicaramu! Aku tidak membesarkanmu untuk bicara
kurang ajar pada orangtuamu.” Bentak ibu tiba-tiba.
“Membesarkanku? Aku bahkan tidak ingat pernah menghabiskan
hari libur bersama ibu. Aku selalu sendirian. Tidak pernah ada yang peduli
padaku. Aku bahkan merasa seperti tidak punya keluarga disini.” Ucapku
mengeluarkan semua isi hatiku.
Tapi ibu hanya terdiam. Aku berjalan memasuki kamarku dan
mengunci pintunya rapat-rapat. Hal berikutnya, terdengar pintu depan tertutup
menandakan ibu pergi lagi. Aku hanya bisa menangis dibalik selimutku.
Sudah dua hari berlalu. Ibu tidak pernah pulang ke rumah.
Maria juga tidak pernah terlihat lagi. Entah perempuan itu memang seorang
malaikat atau hanya seorang penipu atau, entahlah. Aku tidak perduli. Akupun
kembali ke rutinitasku yang biasa. Sekolah dan berdiam diri dirumah. Dan
kemudian pergi ke sekolah lagi keesokan harinya.
“Rika. Kamu dipanggil pak guru.” Ucap salah seorang teman
sekelasku. Akupun beranjak dari kursiku dan mendatangi pak guru diruangannya.
“Permisi. Bapak memanggil saya?” Tanyaku saat wali kelasku
terlihat dibalik meja kerjanya.
“Ah, ya. Rika, pergilah ke rumah sakit. Tadi ada telepon
dari rumah sakit. Katanya ibumu mengalami kecelakaan.”
“Eh?!” bagaikan tersambar petir, aku langsung mengambil
langkah seribu. Menghambur keluar sekolah, memanggil taksi dan memintanya
mengantarku ke rumah sakit secepat mungkin.
Di rumah sakit, terlihat ibu yang dililit banyak perban.
Dokter bilang, ibuku mabuk dan berjalan sempoyongan menuju jalan raya. Dan saat
itu, ada mobil yang melaju kencang dan menabrak ibu.
“Ibu? Ibu, bangunlah. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa?
Kenapa tuhan jahat sekali memberikan cobaan padaku seberat ini? Kenapa?”
Tangisku mulai pecah melihat ibu yang terlihat sangat lemah dihadapanku. Dan
aku mulai terisak.
“Jangan menangis, Rika.” Ucap seseorang yang entah sejak
kapan sudah ada didepanku. Ternyata Maria.
“Ma..ria? kenapa? Kenapa kau ada disini? Sedang apa kau
disini? Kemana saja kau selama ini?” Tanyaku bertubi-tubi sambil mencoba
menghapus air mataku.
“Aku datang untuk membantumu.”ucapnya sambil tersenyum.
“Membantu?” tanyaku bingung.
“Iya. Lihatlah.” Ucapnya lagi sambil menunjuk kearah ibuku.
Ibuku, mulai membuka matanya!
”Ibu? Ibu?! Apa ibu sudah sadar? Ini aku, bu. Rika.”
“Ri..ka?” ucapnya lirih.
“Iya. Ini rika. Ibu, maafkan aku. maafkan sikapku selama
ini. aku menyayangi ibu. Sangat menyayangimu.”ucapku sambil menggenggam tangan
ibu.
“Rika, ibu juga ingin meminta maaf. Maafkan sikap ibu yang
selalu menelantarkanmu. Maafkan ibu yang sudah membuatmu sendirian. Membuatmu
kesepian. Maafkan ibu yang tidak pernah ada disampingmu. Maafkan ibu.”ucap ibu
lirih.
“Tidak. Ibu tidak salah.”ucapku masih tetap menggenggam
tangan ibu. Tapi tiba-tiba tangan itu melemas dan jatuh dari genggamanku
bersamaan dengan bunyi nyaring dari alat yang menyambung ketubuh ibu.
1 tahun kemudian….
“Rika, ayo pulang.” Panggil Vina, temanku.
“Kau pulang duluan saja. Aku ingin ke makam ibuku dulu.”
Ucapku menolak permintaan vina
“Begitukah? Baiklah. Sampai jumpa besok.”
Sudah satu tahun ibu meninggal. Dan sejak saat itu, awalnya
aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup. Aku tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Tapi, aku memutuskan untuk berubah. Aku tidak akan bergantung pada
orang lain. Aku akan mencoba membuka diri.
Pamanku-adik ibuku- mengadopsi aku. aku pindah sekolah. Dan
disekolah yang baru, aku mulai mendapat teman. Salah satunya vina.
“Apa kabar, bu? Sudah setahun ya.” Ucapku saat sudah sampai
didepan makam ibu.
“Bu, ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak sendirian lagi. Aku
tidak kesepian lagi. Aku sudah punya teman yang banyak dan mereka semua baik.
Paman dan bibi pun merawatku dengan baik. Hidupku baik-baik saja. Dan akan
tetap baik-baik saja. Jadi, ibu tidak perlu khawatir lagi.” Ceritaku panjang
lebar. Akupun belum melupakan perempuan itu, Maria. Perempuan yang mengaku-aku
seorang malaikat, perempuan yang memberikan keajaiban pada hidupku, perempuan
yang membuatku mulai berubah. Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Flashback..
Saat hari pemakaman
ibu, Maria datang dan mengucapkan duka citanya atas kematian ibuku.
“Rika, kau baik-baik
saja?” tanyanya saat menghampiriku yang sedang duduk di ayunan di halaman
belakang rumahku.
“Apa aku terlihat
baik-baik saja?” tanyaku balik.
“Rika, kau harus
berubah. Kau tidak bisa terus menutup diri seperti ini.”
“Kau tidak tahu
apa-apa tentangku. Bukankah justru semua ini terjadi karenamu? Sejak kau datang
kedalam hidupku, semuanya jadi berubah. Menjadi buruk.”
“Apa kau justru
menyukai dirimu yang dulu? Rika yang tidak pernah tersenyum, rika yang pendiam,
rika yang ridak punya teman? Rika yang selalu menutup diri?”
“Itu,..”
“Berubahlah. Untuk
kebaikanmu, demi ibumu. Tunjukkan pada ibumu kalau mulai sekarang hidupmu akan
baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Kau bisa memulai semuanya dari
awal. Berusahalah sebaik mungkin. Aku akan selalu memperhatikanmu.”
“kau tidak akan ada
disini lagi?” tanyaku. Dan maria hanya tersenyum melihat kearahku. Tiba-tiba
angin berhembus kencang. Dan saat aku membuka mataku, Maria sudah tidak ada.
Flashback end..
“Lihatlah, Maria. Aku sudah membuktikannya. Terimakasih,
malaikatku.”
fin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar