Minggu, 07 Desember 2014

THE STORY OF MY LIFE [Chater 7]

THE STORY OF MY LIFE




Author : Alice Abbys
Cast :
1.      Han jina
2.      Kim woobin
3.      Park sunhee
4.      Lee jongsuk
5.      Shin won ho
6.      Kim jongin
7.      Kim taemin
8.      Choi hyunji

Genre : romance, family
Rating : PG-15
Length : chaptered
CHAPTER 7
SHINSEGAE PARKING LOT
Jina`s POV
“kau ini kenapa sih? Tiba-tiba menarikku seperti ini. Kenapa kau marah?” tanyaku. Aku bingung dengan sikapnya. Tiba-tiba dia seperti marah entah pada apa dan menarikku seenaknya.
“kau masih menyukainya?” tanyanya sembari memasukkan barang belanjaanku kedalam bagasi mobil.
“eh? Apa? siapa? Kau bicara apa? aku tidak mengerti.” Ucapku
“pria itu. mantan kekasihmu dan pacar barunya. Kau memperhatikannya bukan?”
“eh?” apa yang dia maksud adalah shin? Apa dia mengira aku  memperhatikan shin? Padahal aku sedang memikirkan sikap woobin padaku dan dia malah mengira aku memperhatikan mantan kekasihku?
“tunggu. Darimana kau tahu dia mantan kekasihku?” tanyaku heran
“aku melihatnya. Saat kalian putus di cafĂ© itu. itu juga pertama kali aku tertarik padamu” ucapnya seraya menutup bagasi dan melihat tepat ke manik mataku. Membuat jantungku kembali berdetak diluar kendali.
“benarkah? Aku baru tahu.”ucapku cuek untuk menyembunyikan rasa Maluku.
“jangan mengalihkan pembicaraan. Kau masih meyukainya?” tanyanya lagi saat aku baru membuka pintu mobil.
“tidak.” Ucapku tak yakin sambil masuk kedalam mobil. Tak yakin? Apa maksudku? Aku bahkan sama sekali tidak menyukai shin dari awal kami pacaran. Kenapa aku malah bingung menjawab pertanyaan woobin? Kulihat woobin masuk kedalam mobil dan mulai menghidupkan mesin. Dan, ekspresi wajahnya sulit kubaca. Sedikit aneh. Apa dia marah? Kenapa dia harus marah? Apa dia, cemburu?
tapi woobin sama sekali tidak berniat mengobrol di perjalanan pulang. Dia hanya menjawab seperlunya saat aku mencoba mengajak bicara. Dia benar-benar marah untuk alasan yang tidak kuketahui.
Woobin`s POV
“tidak”. Ucapnya. Meskipun hanya satu kata, Ada nada ragu diucapannya. Jadi, dia benar-benar masih menyukai mantannya itu? sial, aku jadi kesal mengetahuinya. Aku tidak bisa menahan rasa amarahku. Dan daripada aku melampiaskannya pada jina, aku lebih memiih untuk diam atau menjawab seadanya saat jina mengajakku bicara.
Dan karena sikapku, bisa kulihat jina mulai gelisah. Dan akhirnya, kami tidak bicara satu sama lain lagi bahkan setelah sampai dirumah. Saat makan malam, aku lebih memilih makan dikamar dan jina pun tidak memaksaku makan bersamanya.
Haah, padahal aku yang mengatakan padanya kalau aku tidak akan membiarkan dia sendirian lagi. Tapi sekarang, justru aku yang meninggalkannya.
Next day, 7 am
Han`s home
Jina`s POV
Aku makan sendrian. Lagi. Semalam woobin sama sekali tidak keluar kamar dan malah meminta kang ahjumma untuk mengantarkan makanan ke kamarnya dengan alasan sedang sibuk. Membuatku makan sendirian. Menyebalkan. Bukankah woobin sendiri yang bilang kalau dia tidak akan membuatku sendirian lagi. Tapi belum ada sehari setelah dia mengatakan itu, dia sendiri yang meninggalkanku.
Menyebalkan. Menyebalkan. Menyebalkan.
TING TONG
Kudengar bel rumahku berbunyi. Dan beberapa saat setelah itu, kang ahjumma mengahampiriku.
“nona, ada tamu yang mencari anda.” Ucap kang ahjumma
“tamu? Siapa?” tanyaku heran. Siapa yang mencariku pagi-pagi sekali. sunhee? Tidak mungkin. Kalau sunhee yang datang, pasti dia tidak perlu memencat bel lagi.
“tuan shin, nona.”
“eh?” shin? Shin ada disini? Kenapa?”
“iya. Tuan shin. Mantan kekasih anda.” Ucap kang ahjumma meyakinkan. Akhirnya aku pergi keruang tamu.
“shin? Apa yang kau lakukan disini?”tanyaku.
“hai, jina. Lama tidak bertemu.” Ucapnya
“apa maumu?” tanyaku to the point
“aku ingin bicara. Ayo pergi kekampus bersama.” Ajaknya.
“apa yang sedang kau bicarakan? Kita kan sudah tidak ada hubungan apapun?” tanyaku heran
“eng, pokoknya, ayo pergi bersama. Kita akan bicara di jalan.” Ucapnya.
Apa pria ini sudah gila? Dia yang memutuskanku. Dan sekarang dia malah mendekatiku lagi? Bahkan mengajak pergi bersama? Apa yang akan dikatakan woobin nanti kalau dia tahu? Woobin? Apa yang kupikirkan? Woobin bahkan sudah melanggar janjinya.
“aku mengerti. Ayo pergi” ucapku akhirnya.
Woobin`s POV
Aku keluar kamar lebih lambat dari biasanya karena aku bangun kesiangan. Semalam aku tidak bisa tidur karena memikirkan sikapku pada jina. Dan setelah aku bisa tidur, aku justru bangun kesiangan sekarang. Kulihat kang ahjumma sedang membereskan piring-piring diatas meja makan. Membereskan?
“apa jina sudah pergi?”tanyaku pada kang ahjumma.
“sudah, tuan. Baru saja nona jina pergi. Nona dijemput oleh tuan shin.” Ucap kang ahjumma.
“shin?” apa aku tidak salah dengar? Shin? Mantan kekasih jina?
“iya. Mantan kekasih nona jina. Beliau datang saat nona jina sedang sarapan. Dan mereka pergi bersama setelah itu.” ucap kang ahjumma.
“aish.” Aku langsung berlari kekamarku dan mengganti baju. Mengambil dompet dan kunci mobilku dan keluar rumah. Menancap gas dengan cukup kuat. Aku harus ke kampus sekarang. Jangan sampai jina dan shin kembali pacaran. Jina milikku. Tidak akan kubiarkan siapapun merebutnya.
At shin`s car
Jina`s POV
“jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku
“kudengar kau sudah bertunangan.”
“iya.”jawabku singkat. “kami dijodohkan.”
“berarti kau tidak mencintainya, bukan?”
“apa maumu? Aku mencintainya atau tidak bukan urusanmu kan?”
“tapi aku masih mencintaimu, jina-ah” . ucapannya membuatku kaget. shin mencintaiku?
“tapi kau yang meniggalkanku.” Ucapku
“itu karena aku, bingung dengan perasaanmu. Kau tidak pernah menunjukkan ketertarikanmu padaku.” Ucapnya. Ah, ini semua salahku. Karena sikap dinginku pada shin lah yang membuatnya meninggalkanku.
“lalu?”
“aku ingin kau kembali padaku.”
“aku tidak mau. Aku tidak punya perasaan apa-apa padamu.”ucapku dingin sembari keluar dari dalam mobil. Aku langsung berjalan cepat kearah kelasku. Menghiraukan shin yang masih memanggilku berkali-kali.
At class
Kulihat sunhee sudah berada dikelas. Sedang senyum-senyum sembari melihat handphonenya.
“kau sedang melihat apa?” tanyaku saat sampai di tempat duduk.
“eh. Morning, princess. Bagaimana kabarmu?” ucap sunhee sambil tersenyum.
“aku Tanya, kau sedang lihat apa sampai membuatmu senyum-senyum sendiri? Seperti orang gila.” Ucapku mengejek.
“lihat ini.” Ucapnya sambil menyerahkan handphonenya padaku. Kulihat sebuah foto. Foto sunhee bersama dengan jongsuk sunbae. Mereka sudah pacaran.
“kami pergi ke taman bermain kemarin. Hehehe” ucapnya lagi saat aku menyerahkan kembali handphonenya.
“sunhee-ah. jina-ah.” panggil seseorang. Ternyata jongsuk sunbae.
“pagi darling.” Ucap sunhee.
“pagi juga, darling” ucap jongsuk. Huuek. Membuatku ingin muntah saja.
“aku pergi saja deh. Takut menggangu.” Ucapku.
“tidak. Tunggu. Aku kesini justru ingin bicara denganmu. Bertanya, lebih tepatnya.” Ucap jongsuk sunbae.
“denganku?” tanyaku heran sembari kembali duduk.
“ada apa dengan hubunganmu dan woobin?” tanyanya.
“apa maksudmu? Tidak ada apa-apa.” ucapku
“tadi aku melihatmu datang bersama pria lain.” ucapnya. Ups, sepertinya akan ada gossip baru.
“pria lain? bukan woobin oppa? Siapa yang mengantarmu, jina?” Tanya sunhee ikut-ikutan.
“shin. Shin datang kerumahku dan mengajakku pergi bersama.”ucapku santai.
“APA?!” Ucap sunhee kaget
“shin? Siapa?” Tanya jongsuk sunbae
“mantan jina”ucap sunhee.
“kenapa dia menjemputmu? Apa dia ingin jadian lagi denganmu?” Tanya sunhee.
“begitulah. Tapi aku tidak mau.” Ucapku.
“tentu saja harus kau tolak. Kau kan sudah punya woobin.” Ucap jongsuk. Aku ingin sekali berteriak padanya kalau woobin baru saja menghianatiku. Tapi kutahan entah karena apa. menghianati? Kami bahkan tidak dekat dan hubungan kami baru sampai pada tahap saling mengenal.
Dosenku tiba-tiba memasuki kelas. Membuat jongsuk sunbae langsung keluar kelas dan pembicaraan kami terhenti sampai disitu.
Woobin`s POV
Aku harus menemuinya. Gadis itu. kami harus bicara. Aku harus minta maaf atas sikapku dari kemarin. Aku harus memperbaiki hubungan kami. Sial. Aku sangat bodoh. Padahal jina sudah mulai membuka diri padaku. Tapi aku justru menghancurkan kepercayaannya hanya karena aku cemburu.
“woobin oppa.” Panggil seseorang. Choi hyunji. Dia adalah tetanggaku sejak kecil sampai dia dan keluarganya pindah rumah saat aku SMP.
“wae? Kau mencari seseorang?” tanyanya.
“jina. Aku mencari jina. Kau melihatnya?” aku tahu hyunji pasti kenal jina. Aku bahkan sanksi ada mahasiswa yang tidak tahu jina.
“jina? Tunanganmu? Lihat. Dia sedang ada kelas. Oya, apa kau dan jina sedang ada masalah? Kulihat tadi pagi dia datang bersama shin.” Ucapnya.
“bukankah pria yang bernama shin itu pacarmu? Aku melihat kalian berdua kemarin di Mall.”tanyaku.
“mantan. Kami putus kemarin. Dia bilang dia ingin kembali pada mantannya. Dia ingin kembali pada jina.” Ucap hyunji. Membuatku kaget. ternyata benar. Lelaki itu datang kerumah tadi pagi untuk kembali pada jina. Apa jina menerimanya? Bukankah jina masih menyukai pria itu? pikiran-pikiran buruk seperti itu berkelebat didalam kepalaku.
“oppa? Woobin oppa?” panggil hyunji. Sepertinya aku melamun.
“mianhe, hyunji-ah. aku pergi dulu.” Ucapku. Baru aku melangkah, tiba-tiba hyunji berdiri kedepanku dan memelukku. Membuatku kaget setengah mati dengan sikapnya.
“oppa, saranghae.” Ucap hyunji.
Jina`s POV
“kau benar-benar menolak ajakan shin untuk kembali bukan?” Tanya sunhee untuk kesekian kalinya.
“iya, nona sunhee. Aku belum cukup gila untuk menerima ajakan shin sedangkan statusku sekarang adalah tunangan orang. Huuh. Kau cerewet sekali.” ucapku.
“aku mengerti. Oh? Itu jongsuk sunbae. Aku akan kesana. Aku pergi dulu ya, jina-ah. kalau ada apa-apa kau harus segera memberitahuku.” Ucap sunhee
“arra, arra. Pergilah. Kau berisik sekali” ucapku sambil sedikit mendorong sunhee pergi menjauh.
Baru sunhee pergi, saat aku hendak berjalan pergi, tiba-tiba tubuhku menegang seketika. Karena didepan sana, aku melihat woobin. Sedang berpelukan dengan seorang gadis. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sekarang. Sakit. Sangat sakit. Aku merasa tubuhku limbung sesaat sebelum seseorang menutup mataku dari belakang dan menarikku pergi dari tempat itu.
“shin?!” ucapku saat melihat siapa yang menarikku. Tapi shin tidak mengatakan apa-apa. dia hanya menarikku dan membawaku ke taman kampus yang tidak terlalu ramai, mendudukkanku disalah satu bangku.
“kau tidak apa-apa?”tanyanya saat melihat mataku yang sudah penuh menahan air mata. Aku tidak bisa bicara apa-apa. aku takut saat aku mengeluarkan suara, air mataku akan jatuh.
“jina-ah.”ucapnya. aku hanya menggelengkan kepala.
“kau, kau mencintainya?” pertanyaan shin membuat air mataku tak bisa kubendung lagi. Seketika aku menangis sejadi-jadinya.
“sakit. Sakit, shin.” Ucapku disela-sela tangisanku.
“aku, aku mencintainya.” Ucapku akhirnya. Shin hanya memandangiku sejenak dan langsung menarikku kedalam pelukannya. Menenangkanku.
“tenanglah. Menangislah. Keluarkan semua perasaanmu.”ucapnya. aku hanya bisa semakin menangis mendengar kata-katanya. Aku sudah menyakitinya tetapi dia masih mau menenangkanku. Aku menggelamkan kepalaku didadanya dan menangis sepuasku.
Woobin`s POV
“saranghae, oppa.” Ucap hyunji.
“apa? apa kau sedang bercanda?” ucapku sambil melepaskan pelukannya.
“tidak. Aku tidak bercanda. Aku selalu menyukaimu. Tapi kau tidak pernah tertarik padaku. Tapi kali ini, aku ingin mengatakannya dengan jelas padamu, oppa. Aku mencintaimu.”
“mianhae, hyunji-ah. aku sudah punya tunangan.” Ucapku
“aku tahu. Tapi kalian dijodohkan, bukan? Kalian tidak saling mencintai. Kau bisa membatalkan perjodohan ini dan mulai mencintaiku, oppa. Jebal.” Ucapnya.
“mianhae. Aku mencintainya. Dan aku tidak akan menyerah untuk mendapatkannya.” Ucapku mantap. Ini pertama kalinya aku mengakui perasaanku pada jina didepan orang. Bahkan didepan jongsuk sekalipun aku selalu bilang kalau aku tertarik dengan jina. Tidak lebih. Tapi kali ini, aku tidak akan ragu. Aku memang mencintai jina.
Hyunji sepertinya syok mendengar kata-kataku dan langsung pergi meninggalkanku. Dan aku langsung teringat dengan tujuan awalku. Jina. Baru aku membalikkan badan, aku sangat terkejut melihat jongsuk dan sunhee yang sedang menatapku dengan tatapan marah. Ada apa dengan mereka?  Apa jangan-jangan mereka melihatku berpelukan dengan hyunji barusan?
“jongsuk-ah” ucapku sambil berjalan mendekati jongsuk.
“kau pria brengsek.” Ucap sunhee blak-blakan. Tebakanku benar. Mereka melihatnya.
“aku bisa jelaskan. Aku..” ucapku
“bukan pada kami kau harus menjelaskannya, woobin-ah.”ucap jongsuk membuatku tidak mengerti.
“oppa harus menjelaskannya pada jina.”ucap sunhee
“jina?!” ucapku kaget. apa jina melihatnya?
“jina melihatnya. Dan dia terlihat sangat kaget.” ucap jongsuk
“dan shin membawanya pergi.” Lanjut sunhee. Jina melihatnya? Apalagi shin yang membawa pergi jina. Situasi macam apa ini?
“mereka pergi kemana?” ucapku
“tidak tahu. Kau harus mencarinya sendiri. Kasihan jina. Padahal dia sudah mulai membuka diri padamu. Tapi kau justru dengan mudah menghianatinya.” Ucap sunhee.
“bukan begitu. Aku sama sekali tidak bermaksud..”
“pergilah.” Ucap jongsuk mengingatkan. Aku langsung berlari meninggalkan mereka. Benar. Jina adalah prioritasku sekarang. Aku berlari kearah taman kampus. Aku mulai mengedarkan pandanganku. Mencari keberadaan jina. Dan betapa terkejutnya aku saat aku melihatnya. Jina. Jina sedang berpelukan dengan pria itu. apa jina menerima shin lagi? Apa aku terlambat? Dadaku langsung sakit melihatnya. Apa seperti ini perasaan jina saat melihatku berpelukan dengan hyunji tadi? Dan dadaku tambah sakit melihat jina tertawa pada shin saat pria itu menghapus air mata jina. Aku tidak tahan melihatnya. Aku langsung pergi meniggalkan tempat itu secepatnya. Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi tanpa tujuan. Aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu.
Jina`s POV
Aku menangis cukup keras dan baru menyadarinya saat shin menegurku.
“jina-ah. beberapa orang melihat kearah kita dengan tatapan aneh. Mereka mungkin mengira kau menangis karena aku ingin putus darimu dan kau memelukku karena tidak rela aku tinggalkan.” Ucapnya. Seketika aku langsung menegakkan kepalaku dan tertawa. Seperti biasa. Shin sering berusaha membuatku tertawa dengan bercandaannya dan itu sering berhasil meskipun aku tidak punya perasaan apapun padanya. Dia menghapus sisa air mataku dengan jarinya.
“aneh. Meskipun kau menangis, kau masih terlihat cantik. Sudah diduga dari seorang putri kampus.” Ucapnya lagi yang membuatku tersenyum.hanya sebentar.
“mianhae, shin. Aku..”
“shh. Kau tidak perlu mengatakan apapun lagi. Aku mengerti kalau kau memang tidak bisa kembali padaku. Tapi, aku masih boleh berhubungan denganmu kan? Sebagai teman?” tanyanya.
“eng, pasti. Gomawo, shin” ucapku.
“ayo. Kuantar pulang.” Tawarnya.
“iya. Ah, tapi, aku tidak ingin pulang kerumah. Bisakah kau mengantarku kerumah sunhee?” ucapku. Aku tidak ingin pulang kerumah dengan keadaan seperti ini. Aku harus menenangkan diri dulu.
“aku mengerti. Kajja”.
Park`s home, apgujeong-dong, gangnam-gu, south korea
21.00 pm
“kau sudah capek? Ingin tidur sekarang?” Tanya sunhee.
“iya. Maaf ya, sunhee. Aku pasti mengganggu.”ucapku
“tidak. Sama sekali tidak mengganggu kok. Aku justru senang kau kesini dan menginap. Kau butuh tempat untuk menenangkan diri.” Ucap sunhee. “tidurlah.” Ucapnya lagi
“gomawo, sunhee.”ucapku. siang tadi, saat shin mengantarku pulang, aku mampir kerumah untuk mengambil beberapa pakaian sebentar dan merasa lega saat tahu kalau woobin belum pulang. Dengan dalih ada tugas, aku mendapat izin dari kang ahjumma untuk menginap dirumah sunhee tapi memintanya untuk tidak memberitahu woobin tentang ini. Dan sepertinya kang ahjumma mengerti,dan mengabulkan permintaanku. Buktinya, woobin sama sekali tidak datang kerumah sunhee untuk mencariku. Atau bahkan mungkin dia tidak perduli padaku.
Woobin`s POV
Sekarang sudah jam Sembilan malam. Dan jina belum pulang. Aku mulai gelisah. Berpikir dimana gadis itu sekarang. Apa jangan-jangan dia masih bersama pria itu? pikiranku makin kacau saat kang ahjumma bilang jina tidak pulang tadi siang atau menelepon kerumah membeikan kabar.
Kuraih handphone ku dan menelepon jongsuk. Memintanya menelepon sunhee untuk bertanya apa jina ada dirumahnya atau tidak. Tapi jongsuk bilang tidak ada. Membuatku makin panik.
Kuraih kunci mobilku dan mulai menyusuri jalanan untuk mencarinya. Tapi sudah dua jam aku mencarinya, tidak ketemu. Aku memutar mobilku dan memutuskan untuk pulang. Siapa tahu jina sudah pulang. Tapi ternyata nihil. Kuputuskan untuk menunggunya pulang.
Next day
Sampai pagi aku menuggunya tanpa tidur. Tapi gadis itu sama sekali tidak pulang. Aku yakin dia menginap dirumah temannya. Tapi setahuku jina hanya punya satu teman dekat. Yaitu sunhee. Jongsuk bilang jina tidak menginap dirumah sunhee. Apa itu artinya jina menginap dirumah, shin? Kutepis pemikiran itu.
Kuputuskan untuk mencarinya lagi di kampus. Aku sudah merasa putus asa sekarang. Aku merasa sesak nafas karena tidak ada jina. Entah sejak kapan, gadis itu sudah seperti oksigen buatku. Aku membutuhkannya agar aku bisa tetap hidup.
At university
Aku mencarinya keliling kampus. Tapi tidak ketemu. Pria bernama shin itupun tidak kelihatan batang hidungnya. wajar saja, woobin pabo. Ini hari minggu. Siapa yang akan datang ke kampus di hari minggu? Aku mengirim pesan pada jongsuk dan menanyakan sedang ada dimana dia sekarang. membuatku sedikit lega saat tahu dia sedang bersama sunhee. Aku langsung pergi ketempat mereka berdua untuk menanyakan keberadaan jina. Aku yakin sunhee tahu dimana gadis itu berada.
“sunhee-ah.”panggilku. tapi aku melihat ekspresi sunhee agak aneh. Pasti dia tahu apa yang ingin kuketahui. Keberadaan jina.
“dimana jina?”tanyaku langsung
“eng, tidak tahu. Bukankah dirumah?” ucapnya gelagapan. Membuatku semakin yakin kalau sunhee tahu dimana jina. Bodoh sekali aku percaya padanya kemarin saat dia mengatakan padaku kalau dia tidak tahu dimana jina.
“kumohon beritahu aku, sunhee-ah. aku sudah mencarinya kemana-kemana. Aku juga menuggunya semalaman tapi dia sama sekali tidak pulang kerumah. Kumohon, aku harus segera menyelesaikan kesalahpahaman ini.” Ucapku memelas
“haah. Beritahu saja, hee-ah.”ucap jongsuk akhirnya.
“arraseo. Jina ada dirumahku. Dia menginap dirumahku semalam. Oppa, kumohon. Jangan sakiti jina.” Ucapnya pada akhirnya.
“gomawo, sunhee-ah.” ucapku dan langsung berlari ke parkiran. Mengambil mobilku dan menancap gas. Setelah beberapa saat, aku langsung teringat sesuatu dan mengeluarkan handphoneku. Mengetik sebuah pesan
To: jongsuk
Jongsuk-ah. dimana rumah sunhee?
Send. Aku baru sadar kalau aku tidak tahu rumah sunhee. Aku merasa bodoh karena tadi aku langsung berlari dengan semangat saat tahu dimana jina berada. Aku mulai menancap gas lagi saat menerima pesan balasan dari jongsuk.
Park`s home
Diihat dari alamat yang dikirimkan jongsuk, aku yakin ini rumahnya. Ditambah plat bertuliskan park`s home didepan rumahnya, membuat aku yakin tidak salah tempat. Dari pesan jongsuk, dia bilang jina sedang sendirian dirumah sunhee karena orangtua sunhee sedang pergi keluar kota.
Kuparkir mobilku didepan pagar dan kumasuki rumahnya. Tidak sampai pintu karena aku melihat apa yang kucari sudah berada didepanku. Jina. Gadis itu sedang menyiram tanaman didepan rumah. Memunggungi aku yang membuatnya tidak mengetahui keberadaanku.
“jina?” panggilku. Jina menoleh kearahku dan langsung terkejut dengan kedatanganku. Aku tidak perduli dengan perasaannya sekarang. Aku langsung berjalan kearahnya dan menariknya kedalam pelukanku dan mendekapnya erat.
“jina. Jina.” Ucapku berulang kali. Aku sudah bisa bernafas sekarang karena oksigenku sudah ada dalam dekapanku lagi.
 Jina`s POV
Aku sangat terkejut melihat woobin ada disini. Cih, pasti sunhee yang memberitahunya. Dan aku lebih terkejut lagi saat woobin berjalan kearahku dan memelukku. Menyebut namaku berulang kali. Aku sangat terkejut dan langsung melepaskan pelukannya. Menatapnya dengan bingung.
“jina-ah, aku merindukanmu. Pulanglah. Aku tidak bisa hidup tanpamu.” Ucapnya. Membuat jantungku mendadak berhenti berdetak.
“apa maksudmu? Bukankah kau sudah punya kekasih? Wanita yang kemarin..”
“dia bukan kekasihku. Jina-ah. kau harus percaya padaku.” Ucapnya memotong ucapanku.
“percaya apa? kau menghancurkan kepercayaanku. Kau bilang kau tidak akan membuatku kesepian. Tapi setelah kau mengatakan itu, kau malah mendiamkanku. Bagaimana bisa aku percaya padamu?” ucapku frustasi. Baru aku akan melanjutkan kalimatku saat handphoneku berbunyi menandakan telepon masuk. Shin. Baru akan aku angkat, tiba-tiba woobin mengambil handphoneku dengan kasar dan melemparnya sembarangan.
“yak! Apa yang kau lakukan?” Teriakku. Aku tidak habis pikir apa yang baru saja dilakukannya.
“apa yang kulakukan? Apa yang kau lakukan, jina-ah. kau sedang bicara denganku. Bukan saatnya menerima telepon dari orang lain.”ucapnya
“itu bukan urusanmu. Dan kalau kau lupa, woobin-ssi. Kita dijodohkan. Tidak ada landasan perasaan apapun. Dan aku sudah mengatakannya padamu. Jangan campuri urusanku. Dengan siapapun aku berhubungan, itu tidak ada urusannya denganmu.” Ucapku frustasi.
Author`s POV
 “hentikan omong kosongmu itu, oke?”ucap woobin. Tatapan matanya terlihat marah. “apa kau segitu bodohnya sampai tidak menyadari perasaanku?” desis woobin sambil menarik pinggang gadis itu mendekat, membiarkan bibir mereka menempel dalam satu sentuhan ringan, sebelum memberikan lumatan pelan dan mendesak, membuat jina dengan refleks berjinjit.
Woobin memiringkan wajahnya, menggigit bibir gadis itu ringan, mencari celah untuk masuk. Dan saat dia mendapatkannya, dia menjelajahi rongga mulut gadis itu dengan lidahnya, hanya sebentar kerana setelah itu dengan penuh kendali pria itu mendorong wajah jina, memberikan jarak beberapa inci di antara bibir mereka.
Jina merasakan nafasnya sendiri memburu, berusaha keras menghirup oksigen sebanyak yang dia bisa. Pria sialan ini bertindak sembarangan lagi dan dia lagi-lagi dengan bodohnya tidak bisa melakukan apa-apa. Setiap sentuhan dari pria itu membuat otaknya macet dan tidak bisa berpikir waras.
“brengsek, kau.” Ucap jina. Dia tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang. dia terduduk di tanah. Membenakan wajahnya keatas lutut. Apa woobin benar-benar mencintainya? Ia ingin tahu, ia ingin woobin memberitahunya dengan jelas. Tapi ia juga tidak bisa menanyakannya karena takut mendengar jawabannya. Bagaimana kalau sikap woobin selama ini karena ia tidak mau kehilangan perusahaannya? Bagaimana kalau sikap woobin selama ini hanya untuk membuat hubungan baik dengannya? Ia takut. Ia takut ditinggalkan lagi seperti dulu.
Woobin`s POV
Aku memandangi tubuhnya yang terpuruk ditanah. Apa susah sekali baginya untuk belajar mencintaiku? Tapi tentu saja, dengan segala keegoisanku, aku tidak sanggup melepaskannya. Aku bisa hidup tanpa dia, mungkin aku akan jadi setengah gila kalau itu terjadi, tapi aku tidak mau hidup tanpa dia, karena aku tahu bagaimana akibatnya untukku. Aku berlutut di hadapannya, menarik tubuh yang rapuh itu ke dalam pelukanku. Aku bisa mendengarnya menangis terisak-isak, tidak beraksi apa-apa terhadap perlakuanku.
“tenanglah. Aku tidak akan menuntut apapun darimu lebih dari ini. Tapi kumohon, belajarlah untuk menerimaku.” Ucapku.
Jina melepaskan pelukanku dan menatapku. Setelah itu dia menganggukkan kepalanya. Membuatku menghela napas lega. Aku tidak ingin menuntut lebih jauh lagi. Karena aku tidak ingin mendengar penolakan dari gadis ini. Aku akan hancur kalau itu sampai terjadi.
“ayo pulang.” Ucapku sambil membantunya berdiri.
Han`s home
Jina`s POV
Aku tidak ingin memikirkan apa-apa. aku tidak ingin menanyakan apapun. belum. Aku tidak siap mendengar jawaban woobin. Tapi aku tidak bisa terus menghindar. Aku juga belum bisa memastikan perasaanku. Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada pria ini atau tidak. Jadi aku memutuskan untuk mencoba mencari tahu bagaimana perasaan pria ini padaku sedikit demi sedikit. Toh, masih ada waktu sampai keluarga kami memutuskan pernikahan.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Menandakan ada pesan masuk.
From : 09xxx
Jina-ah, apa kabar? Aku sudah pulang ke korea. Dan aku sangat merindukanmu. Aku ingin bertemu denganmu. Bagaimana kalau besok kita bertemu? Makan siang bersama mungkin?
Jongin_
Aku merasa seperti tersambar petir membaca pesan itu. jongin? Jongin? JONGIN? DIA SUDAH KEMBALI KE KOREA?
Woobin`s POV
Aku tidak bisa membendung perasaanku lagi. Aku ingin secepatnya menjadikan jina milikku seutuhnya.

“yeoboseo? Appa? Ada yang ingin kuminta. Soal pernikahanku. Apa bisa appa mempercepatnya menjadi bulan depan?”
TBC

CERITA RIKA [cerpen]

CERITA RIKA
Disaat seperti ini, merupakan suasana yang bagus jika digunakan untuk bersantai. Membaca buku sembari menyesap secangkir teh hangat dan duduk dikursi dibalkon kamar yang menghadap ke taman belakang, diterpa angin dingin yang mulai berhembus menandakan musim panas akan segera berakhir sampai bulan benar-benar menunjukkan senyumnya.
Tapi kenyataan berbanding terbalik. Bukan ketenangan seperti yang kuharapkan yang kudapat, tetapi suara-suara yang saling mencaci-maki satu sama lainlah yang masuk kedalam gendang telinga. Bagaikan barang rongsokan yang sudah tak terpakai lagi, perabotan saling dijatuhkan dengan sengaja.
Aku hanya bisa mendengar, meringkuk dibalik selimut dan memeluk tuan beruang dengan erat. Bagaikan anak kecil yang takut petir saat hujan deras, aku bersembunyi berharap suara-suara itu akan segera hilang. Ini bahkan lebih menakutkan dari petir saat hujan deras. Mereka saling melontarkan kata-kata kasar satu sama lain. menumpahkan segala sumpah serapah yang akan diakhiri dengan bantingan pintu depan yang menandakan salah satu dari mereka telah pergi.
Tapi ini bukan akhir dari perang. Mereka akan mengulangi pertengkaran seperti hari ini lagi saat mereka bertemu lagi nanti. Bertengkar lagi, membanting semua barang yang ada disekitarnya dan akan diakhiri dengan bantingan pintu. Lagi. Selalu seperti itu.
Dan yang  bisa aku lakukan hanya bersembunyi dikamar seperti anak kecil dan meringkuk dibalik selimut. Lagi. Tak ada yang bisa kulakukan. Bukan berarti belum pernah kucoba. Tapi semua itu sia-sia.
“ibu? Apa ibu baik-baik saja?” tanyaku saat aku mencoba keluar kamar. Melihat siapa yang pergi dan siapa yang ditinggalkan.
“jangan ikut campur urusan orang tua. Yang perlu kau lakukan adalah belajar. Tidak perlu pikirkan hal lain lagi.” Jawab ibu sembari pergi entah kemana. Lagi. Selalu seperti ini. Bagi mereka, rumah hanyalah tempat untuk mereka saling mencaci-maki. Setelah itu, mereka akan pergi entah kemana tanpa pulang selama beberapa hari. Meninggalkan aku sendirian dirumah. Dan saat mereka kembali ke rumah, mereka akan mengulangi pertengkaran yang sama dan kemudian pergi lagi.
Pertengkaran sudah bukan lagi hal yang asing di keluarga ini. Keluarga? Apa ini bisa disebut sebagai keluaga? Apa ini yang namanya keluarga? Aku sendirian di dunia ini. Itu kenyataannya. Dan aku benci kenyataan ini. Aku benci keluarga ini. Aku benci dunia ini. Aku benci hidup ini. Dan aku lebih benci lagi pada diriku sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Di sekolahpun aku tidak punya teman. Dulu pernah ada. Tapi mereka semua meniggalkan aku karena latar belakang keluargaku yang berantakan. Mereka sama jahatnya dengan orangtuaku. Mereka meninggalkan aku disaat aku membutuhkan mereka.
Tapi sekarang aku tidak mempermasalahkan hal itu lagi. Kalau mereka tidak membutuhkan aku, maka aku juga tidak membutuhkan mereka. Aku bisa melakukan semuanya sendirian. Akan kubuktikan pada mereka semua kalau meskipun tanpa mereka, aku masih bisa hidup meskipun aku enggan.
Hari ini pun sekolah seperti biasa. Belajar, setelah itu pulang ke rumah. Saat pulang pun, aku tidak perlu mengucapkan “aku pulang” karena aku tahu tidak akan ada siapa-siapa yang menyambutku.
“seharusnya kau mengatakan `aku pulang` saat memasuki rumah, bukan?” ucap seseorang yang membuatku kaget saat aku memasuki rumah.
“si..siapa kau?!” tanyaku kaget melihat seorang perempuan yang tidak kukenal. melihat penampilan dan wajahnya, kupikir umurnya tidak jauh beda denganku atau seumuran denganku.
“aku? perkenalkan, namaku Maria. aku adalah seorang malaikat. Aku datang dari surga untuk menyemangati Rika. Aku akan mengembalikan senyuman Rika yang manis seperti dulu lagi.” Ucapnya dengan nada riang.
“Haahh?!!” menyemangatiku? Untuk apa? siapa sebenarnya orang aneh ini? Penguntit? Kenapa ada dirumahku?. Pikirku dalam hati.
“Dari surga aku melihat kau selalu sedih dan terpuruk karena masalah dalam keluargamu. Dan aku tidak bisa tinggal diam dan melihatnya begitu saja. Karena itu aku datang untuk membantumu...”
“hentikan!! Jangan bercanda. Sama sekali tidak lucu. Apa maumu? Kau itu siapa? Aku tidak butuh bantuanmu sama sekali. keluar dari rumahku sekarang juga.” Bentakku.
“ah, tapi rika..”
BRAK! Kubanting pintu kamarku dan menguncinya. Apa-apaan dia? Mengembalikan senyumanku? Mustahil. Aku sudah menutup rapat-rapat hatiku untuk orang lain. dan sudah lama pula aku tidak tersenyum. Bahkan mungkin aku sudah lupa bagaimana caranya tersenyum.
Krieet…
“Sepi sekali. sepertinya orang aneh itu sudah pergi.” Ucapku saat keluar kamar. Perutku sudah mulai berteriak meminta diisi. Kubuka pintu lemari es dan hanya menemukan beberapa botol berisi air putih. Tidak ada makanan.
“Hhh.. sepertinya aku harus ke supermarket.”
Baru aku akan keluar rumah, pintu depan tiba-tiba terbuka. Aku kaget mengira ayah atau ibuku pulang. Tumben sekali. padahal ini masih sore.
“Rika. Bisa bantu aku membawa barang belanjaan ini masuk?” ucap seseorang yang sedang berusaha membuka pintu dengan mendorongnya menggunakan kaki.
“Huh? Kau? Kenapa kau masih ada disini?” tanyaku saat melihat ternyata orang yang datang bukanlah ayah atau ibuku melainkan perempuan aneh yang mengaku-aku seorang malaikat.
“Bertanya nanti saja. Sekarang bantu aku memasukkan barang belanjaan ini kedalam. Aku membeli banyak barang” ucapnya sambil menunjuk kearah tiga kantung plastik yang ada ditangannya.
“Kenapa kau berbelanja sebanyak ini? Untuk apa?” tanyaku sambil membantunya menaruh kantong belanja tersebut diatas meja.
“Aku melihat isi kulkasmu. Tidak ada apa-apa. karena itu aku belanja untuk keperluan kita sehari-hari.” Ucapnya dengan senyum manis diwajahnya.
“Kau tidak perlu bersusah payah berbelanja. Aku bisa membeli makanan cepat saji. Dan apa maksudmu dengan keperluan kita?”
“Tentu saja maksudku keperluan kita berdua sehari-hari. Aku kan akan tinggal disini mulai sekarang.” ucapnya santai.
“Apa?! apa maksudmu tinggal disini bersamaku? Bagaimana kalau orangtuaku tahu? Mereka bisa marah besar padaku.”
“Tidak akan terjadi apa-apa. percayalah padaku. Aku bisa mengatasinya.” Ucapnya menenangkan. “Daripada berdebat sekarang, lebih baik kita makan. Aku sudah lapar. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu.” Ucapnya lagi.
Dan aku tidak bisa mendebatnya sekarang karena aku merasakan perutku mulai berbunyi menandakan aku sangat lapar. Maria benar-benar memasak makanan. Dan makanan yang dibuatnya benar-benar enak. Ini pertama kalinya dalam beberapa tahun aku merasakan masakan buatan seseorang. Dan ini membuatku terharu.
“Bagaimana rasanya?”
“Ehm, enak.” Ucapku singkat. Aku terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Dan maria hanya tersenyum saja melihat reaksiku.
“Baiklah. Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan?” ajak maria saat dia telah selesai mencuci piring yang kami pakai untuk makan tadi.
“Jalan-jalan?”
“Iya. Ke taman bermain mungkin? Atau shoping? Kau maunya kemana? Aku ingin mengajakmu pergi ke tempat yang kau sukai.”
“Percuma saja. Tidak perlu.” Ucapku ketus.
“Kenapa kau tidak mau bersenang-senang? Apa salahnya kau bersenang-senang? Daripada kau terus terpuruk dengan keadaan keluargamu, lebih baik kau lupakan semua masalahmu dan mencari kebahagiaanmu sendiri. Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini.”
“Jangan ikut campur urusanku.” Bentakku.
“Ugh. Kau keras kepala sekali. kalau kau tidak mau, maka aku akan menggunakan cara paksa.” Ucapnya.
“Ehh?”
Tiba-tiba dia menarik lenganku dan membawaku keluar rumah. Terus menyeretku menaiki bus sampai kami tiba di taman bermain.
“Kau ternyata tipe orang yang suka memaksa ya?” Ucapku menyindir saat kami tiba di taman bermain. Sedangkan yang ditanya hanya tersenyum.
“Hmm.. kita mulai naik wahana apa ya?”ucapnya bersemangat. “ah, kita mulai dari itu.” ucapnya sambil menunjuk-nunjuk sesuatu dan mulai menarik lenganku lahgi. Dan ternyata wahana yang dimaksud adalah rumah hantu.
“tu..tunggu. aku tidak mau. Aku takut dengan wahana-wahana yang menyeramkan seperti ini.” Ucapku ketakutan. Jujur saja, aku sangat takut dengan hal-hal menyeramkan seperti ini. Tapi sepertinya protesku tak dihiraukan oleh Maria. Dia tetap menarikku memasuki wahana rumah hantu. Dan tidak berhenti sampai disitu. Dalam ingatanku, setelah rumah hantu, wahana yang kami naiki adalah roller coster. Setelah itu kami menaiki beberapa wahana lagi yang sama-sama menguji adrenalin. Perempuan ini benar-benar memiliki selera yang mengerikan rupanya, pikirku.
“Haa.. senangnya. Selanjutnya kita naik wahana apa, ya?” ucap Maria riang setelah kami baru saja menaiki wahana yang bernama tornado.
“Tung.. tunggu dulu. Bisakah kita istirahat dulu? Apa kau tidak lelah?” cegahku sebelum aku kembali ditarik untuk menaiki wahana lain yang sudah bisa ditebak pastilah wahana yang menakutkan.
“Kau sudah lelah? Hm, baiklah. Ayo kita duduk dulu di kursi itu.” ucapnya sambil menunjuk sebuah kursi panjang di bawah pohon.
“Ini. Minumlah.” Tawar maria padaku sambil menyerahkan sekaleng minuman dingin yang baru saja dibelinya.
“Ah, terima kasih.” Ucapku sembari menerima kaleng dingin tersebut.
“Bagaimana? Apa kau bersenang-senang hari ini?” tanyanya.
“Bersenang-senang?” ucapku tak percaya. “wahana yang kita naiki hanya wahana yang mengerikan dan menegangkan. Bagaimana aku bisa bersenang-senang?”
“Kau tidak suka? Padahal menurutku tadi itu sangat menyenangkan.” Ucapnya dengan tampang tak berdosa.
“Hanya kau saja yang bersenang-senang. Aku sama sekali tidak senang. Seperti anak kecil saja.”
“Kau ini. Tidak sopan sekali pada malaikat.”
“Mana ada malaikat seperti itu? jangan bercanda.”
“Haha. Ternyata kau masih tidak percaya ya? Bagaimana caranya agar kau bisa percaya padaku?” ucapnya menantang.
“Ha? Kau serius? Kalau begitu, bawa aku ketempat ayahku. Aku ingin bertemu dengannya. Aku ingin tahu bagaimana kabarnya.” Ucapku menantang balik. Tentu saja aku yakin maria tidak akan bisa melakukannya. Aku saja tidak tahu dimana ayahku berada sekarang.
“Baiklah. Sekarang, tutup matamu.” Ucapnya dengan raut wajah serius.
“Eh? Menutup mata?” astaga. Jangan bilang kalau perempuan ini benar-benar sudah gila. Atau, jangan-jangan dia benar-benar bisa menemukan ayahku?
“Sudahah. Tutup saja matamu dan percayalah padaku.” Ucapnya lagi meyakinkan. Dan anehnya, aku menuruti saja permintaannya.
“Satu, dua, tiga… empat! Nah, bukalah matamu.” Ucap maria. Dan sesuai perintahnya, aku membuka mataku dan melihat pemandangan asing disekelilingku.
Aku terkejut setengah mati dengan apa yang baru saja terjadi. Beberapa detik yang lalu kami masih duduk dikursi di taman bermain. Dan lihat sekarang. kami ada dimana? Yang jelas ini bukan Taman bermain. Ini, jalan disebuah perumahan sepertinya.
“A…apa yang baru saja terjadi?” tanyaku gelagapan.
“Sekarang kau percaya padaku?” ucapnya dengan senyum kemenangan diwajahnya.
“Tidak. Lagipula, aku bilang aku ingin menemui ayahku. Dan dimana kita sekarang? aku tidak melihat siapa-siapa disini. Ini Cuma perumahan yang sepi.” Ucapku masih tak percaya.
“Hem, aku juga bingung. Seharusnya kita ada di tempat ayahmu. Tapi kenapa kita ada di jalan sepi seperti ini. Biar kulihat sekitar dulu.” Ucapnya bingung dan mulai melihat-melihat daerah sekitar. Aku pun ikut melihat-lihat.
Dan tiba-tiba aku terpaku pada sebuah pemandangan yang membuatku beku seketika. Disana. Ayahku. Dia ada disana. Di salah satu rumah itu. Di rumah yang gordennya terbuka dan menampakkan semua pemandangan salah satu ruangan di rumah tersebut. Dia ada disana. Tapi tidak sendirian. Ada seorang wanita di sebelahnya yang sedang menertawakan sesuatu bersama ayahku. Tapi yang jelas itu bukan ibuku. Siapa dia?
Belum terjawab pertanyaanku tentang siapa dia, satu pertanyaan telah terjawab. Objek yang sedang mereka tertawakan ternyata adalah seorang anak kecil yang sedang bernyanyi. Tanpa ditanya, mereka terlihat seperti sebuah keluarga. Keluarga yang bahagia.
Dan tanpa sadar kakiku sudah bergerak ke arah rumah itu dan tanganku mulai mengetuk pintunya saat sudah berada dalam jangkauan. Tak lama, ayahku lah yang membukakan pintu itu. terlihat raut wajahnya yang kaget melihatku.
“Ayah? Kenapa Ayah ada disini? Kenapa Ayah tidak pulang kerumah? Ke rumah kita?” tanyaku sambil menahan tangis. Aku ingin mendengar penjelasan ayahku.
“Sayang? Siapa yang bertamu?” ucap seseorang dari dalam rumah yang sedang berjalan ke arah pintu sambil menggendong anak perempuan yang tadi kulihat.
“Eh? Bukan. Bukan siapa-siapa.” Ucap ayahku.
“Apa? bukan siapa-siapa? Ayah! Ini aku. anak perempuanmu.” Ucapku tak percaya dengan jawaban ayahku. Kulihat Perempuan itu menghampiriku.
“Sayang? Siapa anak perempuan ini? Kenapa tidak di ajak masuk?” Tanya wanita itu.
“Dia..”
“Aku anaknya. Anda siapa?” tanyaku pada wanita itu.
“Anak? Apa dia anak dari mantan istrimu?” ucap wanita itu lagi. Apa? ternyata dia tahu tentang aku?
“Aku, aku tidak pernah menganggapmu sebagai anakku. Pergilah. Jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah lebih bahagia dengan keluargaku yang baru.” ucap ayah yang terasa bagaikan sambaran petir di telingaku.
Aku tidak tahu lagi bagaimana perasaanku sekarang. Hatiku sudah cukup hancur dengan keadaan keluargaku yang memang sudah lama retak ini. Tapi sekarang, aku tidak tahu lagi bagaimana hancurnya hatiku setelah tahu bahwa ternyata ayahku sudah memiliki keluarga baru.
Aku bahkan tidak sadar sudah berjalan berapa lama atau bagaimana aku bisa sampai di rumah sekarang. Aku juga baru menyadari bahwa Maria tidak ada, entah sejak kapan. Saat memasuki rumah, ternyata ibuku ada di rumah. Aku berpikir sejenak. Dan memutuskan untuk bertanya pada ibuku.
“Ibu?” panggilku.
“Ya? Oh? Kau sudah pulang? Darimana saja kau? Kenapa larut sekali kau pulang? Apa kau sudah mulai menjadi anak nakal dan berkeliaran tidak jelas seperti ayahmu, hah?” tuduh ibu.
“Ibu, apa ibu tahu kalau ayah sudah memiliki keluarga baru?” tanyaku langsung. Membuat raut wajah ibu berubah seketika. Kaget.
“Darimana…”
“Tadi aku bertemu ayah. Dan, keluarga barunya. Ayah bahkan tidak mengakuiku sebagai anaknya.”ucapku. keheningan tiba-tiba saja menyelimuti kami.
“ Baguslah kalau kau sudah tahu.”ucap ibu memecah keheningan.
“Eh?”
“Dengan begini, aku sudah tidak perlu berpura-pura lagi. Sekarang aku sudah bisa benar-benar bebas dari lelaki bajingan itu.” ucap ibu lagi.
“Apa maksud ibu? Kenapa ayah meniggalkan kita?”
“Kebanyakan laki-laki memang brengsek. Termasuk Ayahmu. Sudahlah. Kau sudah tidak perlu mengingat ayahmu lagi.”
“Ayah pergi karena Ibu kan? Ibu sama saja seperti ayah. Ibu selalu sibuk bekerja. Jarang ada di rumah, tidak pernah menghabiskan waktu bersama-sama sebagai keluarga. Pantas saja ayah meninggalkan kita.” Ucapku frustasi.
PLAK!
Pipiku berdenyut. Ibu menamparku dengan cukup keras.
“Jaga cara bicaramu! Aku tidak membesarkanmu untuk bicara kurang ajar pada orangtuamu.” Bentak ibu tiba-tiba.
“Membesarkanku? Aku bahkan tidak ingat pernah menghabiskan hari libur bersama ibu. Aku selalu sendirian. Tidak pernah ada yang peduli padaku. Aku bahkan merasa seperti tidak punya keluarga disini.” Ucapku mengeluarkan semua isi hatiku.
Tapi ibu hanya terdiam. Aku berjalan memasuki kamarku dan mengunci pintunya rapat-rapat. Hal berikutnya, terdengar pintu depan tertutup menandakan ibu pergi lagi. Aku hanya bisa menangis dibalik selimutku.
Sudah dua hari berlalu. Ibu tidak pernah pulang ke rumah. Maria juga tidak pernah terlihat lagi. Entah perempuan itu memang seorang malaikat atau hanya seorang penipu atau, entahlah. Aku tidak perduli. Akupun kembali ke rutinitasku yang biasa. Sekolah dan berdiam diri dirumah. Dan kemudian pergi ke sekolah lagi keesokan harinya.
“Rika. Kamu dipanggil pak guru.” Ucap salah seorang teman sekelasku. Akupun beranjak dari kursiku dan mendatangi pak guru diruangannya.
“Permisi. Bapak memanggil saya?” Tanyaku saat wali kelasku terlihat dibalik meja kerjanya.
“Ah, ya. Rika, pergilah ke rumah sakit. Tadi ada telepon dari rumah sakit. Katanya ibumu mengalami kecelakaan.”
“Eh?!” bagaikan tersambar petir, aku langsung mengambil langkah seribu. Menghambur keluar sekolah, memanggil taksi dan memintanya mengantarku ke rumah sakit secepat mungkin.
Di rumah sakit, terlihat ibu yang dililit banyak perban. Dokter bilang, ibuku mabuk dan berjalan sempoyongan menuju jalan raya. Dan saat itu, ada mobil yang melaju kencang dan menabrak ibu.
“Ibu? Ibu, bangunlah. Kenapa jadi seperti ini? Kenapa? Kenapa tuhan jahat sekali memberikan cobaan padaku seberat ini? Kenapa?” Tangisku mulai pecah melihat ibu yang terlihat sangat lemah dihadapanku. Dan aku mulai terisak.
“Jangan menangis, Rika.” Ucap seseorang yang entah sejak kapan sudah ada didepanku. Ternyata Maria.
“Ma..ria? kenapa? Kenapa kau ada disini? Sedang apa kau disini? Kemana saja kau selama ini?” Tanyaku bertubi-tubi sambil mencoba menghapus air mataku.
“Aku datang untuk membantumu.”ucapnya sambil tersenyum.
“Membantu?” tanyaku bingung.
“Iya. Lihatlah.” Ucapnya lagi sambil menunjuk kearah ibuku. Ibuku, mulai membuka matanya!
”Ibu? Ibu?! Apa ibu sudah sadar? Ini aku, bu. Rika.”
“Ri..ka?” ucapnya lirih.
“Iya. Ini rika. Ibu, maafkan aku. maafkan sikapku selama ini. aku menyayangi ibu. Sangat menyayangimu.”ucapku sambil menggenggam tangan ibu.
“Rika, ibu juga ingin meminta maaf. Maafkan sikap ibu yang selalu menelantarkanmu. Maafkan ibu yang sudah membuatmu sendirian. Membuatmu kesepian. Maafkan ibu yang tidak pernah ada disampingmu. Maafkan ibu.”ucap ibu lirih.
“Tidak. Ibu tidak salah.”ucapku masih tetap menggenggam tangan ibu. Tapi tiba-tiba tangan itu melemas dan jatuh dari genggamanku bersamaan dengan bunyi nyaring dari alat yang menyambung ketubuh ibu.
1 tahun kemudian….
“Rika, ayo pulang.” Panggil Vina, temanku.
“Kau pulang duluan saja. Aku ingin ke makam ibuku dulu.” Ucapku menolak permintaan vina
“Begitukah? Baiklah. Sampai jumpa besok.”
Sudah satu tahun ibu meninggal. Dan sejak saat itu, awalnya aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tapi, aku memutuskan untuk berubah. Aku tidak akan bergantung pada orang lain. Aku akan mencoba membuka diri.
Pamanku-adik ibuku- mengadopsi aku. aku pindah sekolah. Dan disekolah yang baru, aku mulai mendapat teman. Salah satunya vina.
“Apa kabar, bu? Sudah setahun ya.” Ucapku saat sudah sampai didepan makam ibu.
“Bu, ibu tidak perlu khawatir. Aku tidak sendirian lagi. Aku tidak kesepian lagi. Aku sudah punya teman yang banyak dan mereka semua baik. Paman dan bibi pun merawatku dengan baik. Hidupku baik-baik saja. Dan akan tetap baik-baik saja. Jadi, ibu tidak perlu khawatir lagi.” Ceritaku panjang lebar. Akupun belum melupakan perempuan itu, Maria. Perempuan yang mengaku-aku seorang malaikat, perempuan yang memberikan keajaiban pada hidupku, perempuan yang membuatku mulai berubah. Sejak saat itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Flashback..
Saat hari pemakaman ibu, Maria datang dan mengucapkan duka citanya atas kematian ibuku.
“Rika, kau baik-baik saja?” tanyanya saat menghampiriku yang sedang duduk di ayunan di halaman belakang rumahku.
“Apa aku terlihat baik-baik saja?” tanyaku balik.
“Rika, kau harus berubah. Kau tidak bisa terus menutup diri seperti ini.”
“Kau tidak tahu apa-apa tentangku. Bukankah justru semua ini terjadi karenamu? Sejak kau datang kedalam hidupku, semuanya jadi berubah. Menjadi buruk.”
“Apa kau justru menyukai dirimu yang dulu? Rika yang tidak pernah tersenyum, rika yang pendiam, rika yang ridak punya teman? Rika yang selalu menutup diri?”
“Itu,..”
“Berubahlah. Untuk kebaikanmu, demi ibumu. Tunjukkan pada ibumu kalau mulai sekarang hidupmu akan baik-baik saja dan akan selalu baik-baik saja. Kau bisa memulai semuanya dari awal. Berusahalah sebaik mungkin. Aku akan selalu memperhatikanmu.”
“kau tidak akan ada disini lagi?” tanyaku. Dan maria hanya tersenyum melihat kearahku. Tiba-tiba angin berhembus kencang. Dan saat aku membuka mataku, Maria sudah tidak ada.
Flashback end..
“Lihatlah, Maria. Aku sudah membuktikannya. Terimakasih, malaikatku.”
fin




9SQUARE [Cerpen]

9SQUARE
(NINE SQUARE)
Adhi menjulurkan kepala ke luar jendela taksi dan melihat pemandangan kota yang sudah lama tidak dilihatnya. Adhi sedang menuju rumahnya setelah berlibur di jepang selama beberapa minggu.
Sesampainya di apartemen, Adhi langsung menghempaskan badannya ke tempat tidur. Dia sangat lelah setelah perjalanannya dari Jepang sampai Jakarta. Saking lelahnya, tanpa sadar Adhi pun tertidur.
“Kriiiing….Kring….,”Terdengar dengan jelas bunyi handphone berdering. Satu kali, dua kali, tiga kali, handphone itu dibiarkan berdering tanpa diangkat oleh Adhi. Akhirnya setelah entah berapa kali handphone itu berdering, Adhi pun menyerah dan mengangkat handphone nya.
“Akhirnya kau jawab juga teleponku. Aku sudah mencoba menghubungimu dari beberapa jam yang lalu.” Bentak seseorang di seberang telepon.
Kata-kata itu menerjang telinga Adhi bahkan sebelum Ia sempat berkata “Hallo”. Adhi bahkan belum sempat menempelkan handphonenya di telinganya. Mengenali suara sahabatnya di ujung sana, Adhi tertawa dan berkata, “Fatkul sahabatku, aku tahu kau rindu padaku, tapi kau tidak perlu berteriak dan membuat semua orang yang mendengar salah paham mengira kita ini pacaran atau semacamnya.”
Fatkhul tertawa hambar. “Lucu sekali.”
Adhi berdiri manghadap jendela dan melihat ke luar apartemennya yang berada di lantai 13. Terlihat langit sudah gelap. Hari sudah malam. Entah berapa jam Ia sudah tertidur.
“Sebenarnya aku tahu kau meneleponku,” sahut Adhi ringan. “Dan aku minta maaf tidak menjawab teleponmu. Aku sangat lelah setelah sampai di sini. Dan aku tidak ingin waktu istirahatku diganggu.”
“Ah, itu yang ingin aku tanyakan. Apa kau sudah tiba di Indonesia? Kapan kau tiba?”
“Tadi siang. Entah jam berapa aku tiba. Aku tidak melihat jam.” Sahut Adhi.
“Kenapa kau tidak menghubungiku? Padahal kalau kau menghubungiku, aku akan menjemputmu di bandara. Oh ya, bagaimana kabarmu? Kau baik-baik saja? Kau sudah baikan? Kau sudah tenang? Kau pergi ke Jepang selama ini untuk menghindar dari Putri kan?” sergah Fatkul.
Adhi tertawa. “Berapa banyak pertanyaan yang akan kau lontarkan kepadaku? Kau terlalu menghawatirkanku. Sekarang kau malah jadi terdengar seperti Ibuku. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku.”
Fatkul malah terkekeh. “Hehe… ah, besok kau akan datang ke kantor?”
“Ya.” Sahut Adhi ringan. Setelah menutup telepon, Adhi menghempaskan kembali tubuhnya di sofa yang menghadap ke jendela. Sofa itu adalah tempat favorit Adhi di saat-saat seperti ini. Apalagi saat malam hari. Pemandangan langit malam terlihat jelas dari sini.
Besoknya…
Adhi melangkah keluar dari apartemennya, menuruni lift dan keluar dari gedung apartemennya menuju mobilnya yang sudah lama tidak Ia kendarai karena Ia meninggalkannya selama Ia pergi ke Jepang.
Adhi mengeluarkan I-pod dan memasang earphone ke telinga dan mulai mengendarai mobilnya menuju kantornya.
Adhi bekerja di perusahaan percetakan majalah. Bersama sahabatnya, Fatkul, yang sudah dikenalnya sejak SMA, sudah 2 tahun mereka bekerja disana.
Ketika Adhi tiba di kantornya, Ia disambut dengan cukup meriah oleh teman-temannya. Adhi termasuk salah satu karyawan yang terkenal di antara semua karyawan di perusahaan itu. Bagaimana tidak, Adhi cukup gagah, masih muda, dan berprestasi di dalam pekerjaannya.
Dari belakang, seseorang menepuk pundaknya. Ternyata itu Fatkul.
“Yoo… selamat pagi, sayangku.” Mendengar salam dari Fatkul, Adhi langsung merinding.
“Menjijikan. Hanya satu kata itu saja yang dapat kukatakan untuk menjawab salammu.”
“Iih, baby jahat!” gurau Fatkul dengan nada manja.
Saat makan siang, Seperti biasanya, Adhi dan Fatkul bagaikan amplop dan perangko yang tak terpisahkan. Mereka berdua makan bersama di seebuah rumah makan di dekat kantor mereka.
Fatkul makan sambil mengoceh panjang lebar tentang hal-hal mistis. Itulah hobinya. Fatkul sangat tertarik terhadap semua yang berhubungan dengan hal-hal gaib. Adhi yang sama sekali tidak tertarik dengan hal tersebut hanya diam entah mendengarkan ocehan Fatkul atau tidak.
“Eh..eh.. kau itu sebenarnya mendengarkanku tidak? Cerita ini sangat menarik dan nyata. Ah, dan begitu populer selama kau berada di Jepang. Kau ingin mendengar ceritanya?” Tanya Fatkul pada Adhi. Dan tanpa menunggu jawaban dari Adhi, Fatkul tetap meneruskan ceritanya.
“Begini. Kau sudah tahu ada supermarket baru yang bernama 9Square kan? Konon, di akhir pembangunan supermarket tersebut, ada orang yang dijadikan tumbal. Aku tidak tahu orang yang dijadikan tumbal itu siapa atau seperti apa orangnya. Entah laki-laki atau perempuan. Atau bisa saja anak-anak.”
Tiba-tiba Adhi menyela “Memangnya apa urusanmu sampai harus tahu siapa orang yang dijadikan tumbal? Lagipula itu cuma cerita khayalan buatan orang-orang untuk mencari sensasi saja, kan? Zaman sudah canggih. Hal yang seperti itu sudah bukan zamannya lagi. Sama sekali tidak masuk akal.”
“ Kau masih tetap dingin seperti biasa.” Fatkul sudah terbiasa dengan sikap Adhi yang dingin itu. “Orang sepertimu harus berhati-hati,” lanjut Fatkul. “sesuatu yang gaib memang ada. Dan jangan sampai kamu takabur. Nanti kamu ketulah, lho!”
Adhi hanya tertawa mendengar nasehat dari Fatkul yang menurutnya aneh. Fatkul memotong tawa Adhi dan mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya. Minggu depan kan ulang tahunmu. Bagaimana kalau kita rayakan ulang tahunmu di rumahku? Kita adakan acara di taman belakang rumahku. Garden party. Bagaimana?”
“Hm.. terserah kamu sajalah.”
“Brr…dinginnya sikapmu”. Canda Fatkul dengan gaya seakan kedinginan.
Seminggu kemudian…
Hari menjelang tengah malam. Tapi semangat Adhi dan teman-temannya yang membantu mendekor taman tak terlihat kendur. Adhi mengeluarkan kopi hangat lagi dari dapur rumah Fatkul yang sudah seperti rumah sendiri sebelum mereka mengeluh kantuk. Ia juga mengeluarkan kue kering yang sebenarnya akan menjadi hidangan besok siang.
“Ngopi dulu!” Adhi mengangsurkan secangkir kopi kepada Fatkul yang terlihat paling sibuk mendekorasi panggung kecil. “kau terlalu bersemangat. Ini kan cuma ulang tahun biasa. Kau tidak perlu terlalu serius. Lagipula, apa-apaan dekorasi ini. Seperti untuk anak umur 17 tahun saja.”
“Tidak apa-apa kan. Lagipula kita juga belum tua kok. 23 tahun itu masih sangat muda tahu.”
Adhi hanya tertawa hambar mendegar ungkapan Fatkul barusan. “jangan sampai kau sakit karena terlalu bersemangat. Setidaknya pakailah bajumu agar kau tidak masuk angin besok.”
Fatkul bertelanjang dada. Ia tak peduli dengan hembusan angin malam. Ia merasa gerah. Ada Barrie yang telah selesai dengan pot-pot bunga yang mengelilingi meja untuk tempat kue tart. Dino bertugas mengatur meja dan kursi. Deri dan henry sibuk dengan sound system.
“Kamu punya kabel lima meteran?” teriak Henry.
Adhi mendekat. “Enggak ada. Buat apa?”
“Kita butuh kabel untuk speaker yang akan ditaruh di sana. Yang ini kurang panjang.” Ungkap Henry sambil menunjuk ke arah panggung yang sedang didekor oleh Fatkul. Rencananya, panggung itu akan dibuat sebagai tempat untuk grup band yang mereka sewa untuk tampil memeriahkan acara. Benar-benar acara untuk anak umur 17-an. Tapi karena Fatkul sangat bersemangat mengadakan acara ini, Adhi membiarkannya.
“Besok saja.” Teriak Fatkul. “aku bisa membelinya pagi-pagi.”
“Aku akan membelinya.” Kata Adhi tanpa berpikir panjang. Mungkin sebagai ungkapan rasa terima kasihnya kepada sahabatnya, setidaknya Adhi ingin membantu lebih untuk sahabatnya itu.
“Tengah malam begini?” Fatkul melotot.
“Kenapa tidak? 9Square buka 24 jam. Aku akan ke sana untuk membeli kabel.”
Henry menatap Adhi. “Kamu berani ke sana tengah malam begini?”
“siapa takut?” tantang Adhi
“Tapi cerita-cerita itu…?”
Adhi tersenyum. “Ah, isapan jempol.” Memang, setelah Fatkul bercerita sedikit tentang 9Square yang mengambil tumbal seminggu yang lalu, banyak cerita lain kelanjutan dari cerita Fatkul. Sering terjadi peristiwa aneh serta penampakan makhluk mengerikan dalam waktu seminggu ini.
Salah satu contohnya, ada yang mengaku ada seorang wanita memakai gaun serba putih dan berambut panjang yang ingin menumpang di mobil yang sedang melintas di depan supermarket itu. Dan setelah wanita itu telah naik ke mobil, wanita itu menghilang tiba-tiba di dalam mobil.
Atau, ada cerita lain. Ada yang melihat seorang laki-laki berpakaian serba hitam yang mengganggu mobil pengunjung yang datang ke supermarket itu. Gangguannya pun berbeda-beda. Ada yang tiba-tiba dihadang saat akan keluar dari supermarket itu dan bermacam-macam cerita lainnya.
Tapi, Adhi berkeras untuk berangkat sendiri tanpa ditemani.
Pukul 00.30 Adhi tiba di supermarket serba ada 9Square. Supermarket itu tampak sepi. Suasana di sekitarnya juga demikian. Mungkin karena sekarang sudah bukan jam yang tepat untuk berbelanja, kecuali mereka yang membutuhkan sesuatu yang sifatnya mendesak dan darurat.
Di area parkir hanya ada dua mobil. Ketika mobilnya telah terparkir, Adhi segera keluar dari mobilnya. Tiba-tiba bunyi keras membuatnya kaget. Adhi seakan terpaku di tempat. Tubuhnya tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas. Dengan mata terbelalak Adhi menatap bayangan itu membetulkan letak…. Tong sampah?
Adhi mengumpat karena kaget. Ternyata suara yang membuat kaget itu berasal dari petugas parkir yang menabrak dan menjatuhkan sebuah tong sampah di ujung tempat parkir itu. Seketika Adhi teringat bahwa dompetnya tertinggal di dalam mobil. Adhi kembali masuk dan menutup pintu mobil sambil mencari-cari dompetnya. Tiba-tiba sebuah ketukan keras dari kaca mobilnya mengejutkan Adhi.
“Karcisnya.”
Adhi menurunkan kaca mobil dan menerima sobekan karcis yang diangsurkan petugas parkir itu. Adhi sempat bingung. Sesaat barusan Ia melihat petugas parkir itu berada di ujung tempat parkir itu dan menabrak tong sampah. Namun, tiba-tiba saja petugas parkir tersebut sudah berada di samping mobilnya. Belum sempat berpikir lebih jauh, Adhi kembali kaget. Petugas parkir itu mengenakan seragam serba hitam seperti jas hujan. Mungkin tadi hujan di sekitar sini, batin Adhi untuk menenangkan diri.
Setelah keluar dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk. Adhi merasakan sesuatu yang ganjil dan bulu kuduknya meremang. Ia menoleh sekali lagi ke arah petugas parkir itu yang berdiri di bawah cahaya lampu. Tubuhnya tinggi besar. Jubah yang dikenakannya mengingatkan Adhi tentang penggali kubur seperti yang ada di film-film horor.
Sesuatu di bawah jubah itu bersinar berwarna merah. Matanya? Bersinar? Adhi setengah berlari memasuki toko. Ia menyempatkan diri melihat ke arah petugas parkir itu. Petugas parkir itu memakai kacamata dan cahaya itu adalah efek pantulan sinar lampu yang mengenai kacamata itu. Batin Adhi mencari alasan.
Adhi meredakan jantungnya. Dengan langkah cepat Ia menuju daerah tempat peralatan listrik. Tempat itu benar-benar sepi. Tak ada pembeli selain dirinya. Petugas pun tak terlihat. Hanya ada seorang wanita yang duduk terkantuk-kantuk di belakang meja kasir.
   Adhi langsung mengambil kabel sepanjang 10 meter yang telah terbungkus rapi. Adhi tidak ingin pusing-pusing mencari kabel sepanjang 5 meter seperti yang dibutuhkan oleh teman-temannya karena Ia merasa harus secepatnya pergi dari tempat itu. Dari tadi perasaannya tidak enak. Adhi gugup. Ia tidak sengaja menyenggol dan menjatuhkan beberapa barang yang menimbulkan suara berisik.
Adhi menoleh kearah wanita di balik meja kasir yang seperti tersentak akibat suara berisik. Adhi tersentak dan kabel ditangannya nyaris jatuh. Ia tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang.
Wanita itu berdiri kaku. Wajahnya pucat mayat dengan mata putih. Ia menjulurkan lidahnya yang memanjang seperti ular. Matanya putih semua? Adhi menggoyangkan kepalanya untuk mengusir pikiran hantu. Adhi menoleh kearah perempuan itu dengan lebih teliti. Namun yang Ia dapati adalah wanita itu telah tertidur kembali diatas meja kasirnya.
Adhi segera berjongkok memunguti benda-benda yang Ia jatuhkan tadi. Ia menemukan cairan merah menggenang di lantai. Adhi menyentuh cairan merah itu. Dia menciumnya. Baunya amis.
Darah!?
Adhi mengeluarkan jeritan dan berjalan menjauh. Namun, anehnya cairan itu bergerak mengikuti langkah Adhi. Adhi berlari menuju meja kasir. Darah itu bergerak semakin melebar seperti mengejarnya.
Adhi tiba di meja kasir dan melemparkan kabel itu keatas meja. Perempuan yang tertidur itu tersentak. Matanya yang putih tanpa kornea itu melotot. Mulutnya yang terbuka memperlihatkan taring yang sepertinya tajam. Batin Adhi hanya berkata : LARI!
Adhi lari tunggang langgang meninggalkan toko itu. Sampai di dekat pintu, Ia dihadang oleh sosok serba hitam persis di tengah tengah-tengah pintu. Dengan penuh keberanian, Ia menerobos sosok serba hitam. Adhi tidak merasakan bahwa Ia menabrak sesuatu.
Rasa takut mengalahkan rasa bingung Adhi dengan apa yang baru saja terjadi. Adhi langsung lari kearah mobil. Ia telah mencapai mobil dan dengan tangan gemetaran Adhi membuka mobil dan langsung masuk serta mengunci mobilnya.
Tapi sebelum Ia berhasil menghidupkan mesin mobil, matanya terpaku kedepan persis didepan mobilnya. Hantu berpakaian serba hitam itu berdiri dengan tangan yang terentang. Hantu itu menerbangkan mobil Adhi dan membantingnya, menimbulkan guncangan yang luar biasa.
Gelap.~~
Gedoran berulang kali di kiri dan kanan. Susah payah Adhi membuka matanya. Terdengar suara-suara yang amat dikenalnya.
“Buka pintunya. Adhi! Buka!”
Iwan yang menggedor kaca depan mobilnya. Menoleh ke kanan, dilihatnya Fatkul berteriak-teriak dengan wajah cemas. Seluruh kesadaran Adhi telah kembali. Dibukanya pintu kanan mobil dan seketika Ia merasakan udara segar memasuki paru-parunya.
“Kamu kenapa? Kami mencemaskan kamu! Tiga jam belum juga kembali!” Tanya Fatkul dengan wajah cemas.
“Aku..Aku…” Adhi menatap ke sekeliling seperti mencari-cari sesuatu. Dimana hantu petugas parkir itu? Tak ada. “dimana?” Tanya Adhi seperti orang linglung.
“Kamu ini!” Henry memukul kepala Adhi dengan kesal. “Kami mencemaskan kamu dan terpaksa menyusul kemari. Nggak tahunya kamu malah tidur di dalam mobil!”
“Tidur?” Adhi masih melongo.
“Kamu memang kelewatan, Dhi! Kami bersusah-payah bantu-bantu, kamu malah ngungsi dan tidur disini. Mana kaca-kacanya tertutup rapat-rapat. Kamu bisa mati didalam mobil karena kehabisan oksigen, tahu!” Bentak Barrie.
Adhi turun dari mobil. Diedarkan kembali pandangan ke setiap sudut area parkir yang sunyi. Rupanya hari hampir pagi dan matahari sudah mulai terbit.
“Mana kabel yang kamu beli? Dapat tidak?” Tanya Fatkul.
“Kabel?” Adhi mengangkat tangannya yaqng kosong lalu meneliti ke dalam mobil. “Dimana kabelnya? Oh?! Tertinggal di meja kasir? Di mejanya perempuan bertaring itu!”
“Huh!” Deri mendorong tubuh Adhi dengan kesal. “Kamu memang kesini cuma untuk ngungsi tidur! Kelewatan!”
Deri berjalan kearah pintu masuk 9Square diikuti Henry, Iwan, dan Barrie.
“Ayo” ajak Fatkul sambil mengangsurkan tangan. Adhi berjalan mengikuti Fatkul. Adhi masih kebingungan. Benarkah Aku hanya tertidur didalam mobil dan mengalami mimpi buruk?
Adhi mengangkat tangan dan Ia melihat ada bercak di jarinya yang kini telah mengering dan berubah menjadi hitam. Bercak apa ini? Dengan bingung Adhi mencoba mengingat dan menduga-duga asal bercak berwarna hitam ini.
Seketika Adhi teringat dengan kejadian yang baru saja dialaminya saat Ia menyentuh cairan merah yang ternyata darah. Sekarang darah itu telah mengering dan berubah warna menjadi hitam dan berbekas di tangannya.
Saat sadar, dilihatnya hantu berpakaian serba hitam dengan mata merah menyala sedang memperhatikannya di kejauhan tempat parkir itu.

Adhi menjerit. Menjerit sekeras-kerasnya dan jatuh pingsan.